![]() |
| Ilustrasi Perjuangan Masyarakat Kolaka Melawan Pasukan NICA di Pertigaan Jembatan Kali Merah Sabilambo 19 Nopember 1945 (Gambar: Koleksi Pribadi) |
KONGGOASA LATAMBAGA dan M. NUR LATAMORO
Sejarah perjuangan di wilayah Mekongga–Kolaka wilayah yang kini merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Tenggara didominasi oleh narasi besar tentang tokoh nasional dan militer formal.
Sehingga banyak figur lokal yang mengambil peran penting dalam pembentukan struktur sosial-politik pada masa penjajahan dan masa awal kemerdekaan tidak tercatat secara memadai dalam arsip negara.
Dua nama yang sering muncul dalam tradisi lisan dan ingatan masyarakat adalah Konggoasa Latambaga dan M. Nur Latamoro. Keduanya merupakan figur yang menempati posisi strategis dalam masyarakat Kolaka, namun masih belum memperoleh perhatian dalam kajian akademik maupun historiografi regional.
Konggoasa Latambaga dan Nur Latamoro disebut sebagai tokoh pejuang yang berpengaruh di Kolaka pada periode Revolusi Fisik (1945-1949), masa di mana perlawanan terhadap NICA gencar dilakukan. Keberadaan nama mereka dalam daftar pejuang menegaskan bahwa mereka adalah bagian dari struktur perjuangan lokal di Kolaka pada masa itu.
Konggoasa Latambaga dan Nur Latamoro adalah bagian dari generasi pejuang lokal Kolaka pada masa mempertahankan kemerdekaan, namun sayangnya dokumentasi dan publikasi sejarahnya masih belum memadai, sehingga mereka menjadi sosok yang terlupakan.
Fenomena "terlupakan" ini konsisten dengan kondisi historiografi di banyak daerah di mana catatan sejarah seringkali terfokus pada tokoh-tokoh yang memiliki jabatan struktural tertinggi. Arsip dan dokumen perjuangan di tingkat lokal termasuk Kolaka sangat minim atau sulit diakses, ditambah kurangnya publikasi ilmiah (skripsi, tesis dan buku sejarah daerah) yang mengangkat peran pejuang-pejuang tingkat bawah atau yang tidak memiliki kedudukan militer resmi.
Salah satu tokoh yang disebut terlupakan adalah Andi Kasim sebagai Sulewatang Kolaka yang juga merupakan pejuang di Kolaka pasca kemerdekaan.
Disebutkan pula nama-nama tokoh lain yang berpengaruh dalam perjuangan di Kolaka tahun 1945-1949, seperti Supu Rate-rate dan lainnya.
Penulisan buku tersebut hanya merekam apa yang terjadi disekitar mereka secara terbatas sehingga mengabaikan kontribusi penting peranan pejuang lokal lainnya. Hal ini bisa disebabkan oleh kondisi dan psikologi dalam suasana peperangan pada saat itu.
Dalam upaya mencari informasi autentik mengenai pejuang lokal Konggoasa dan M. Nur Latamoro, perlu mengalihkan fokus ke sumber yang lebih teruji otentisitasnya dan memiliki kedekatan langsung dengan sejarah etnis Mekongga di Kolaka.
Konsep Pemerintah Boneka "Sulewatang" di Kolaka
Pejabat Sulewatang saat itu tidak pernah di akui keberadaannya oleh masyarakat di Kerajaan Mekongga, sebab kerajaan Mekongga tidak pernah takluk dan ditaklukkan oleh kerajaan-kerajaan lain. (Hal ini penulis akan jelaskan secara singkat dan terinci beserta fakta histori di artikel berikutnya).
Perlu diketahui Pada masa penjajahan Belanda, gelar sulewatang sering kali digunakan oleh pemerintah kolonial untuk mengangkat pejabat lokal sebagai perpanjangan kekuasaannya. Kerajaan yang memiliki sulewatang pada masa ini berarti berada di bawah kendali Belanda.
Dalam laman beranda kolakakab.go.id/beranda/laman/sejarah-kabupaten-kolaka dikatakan "pada 17 Agustus 1945, Kolaka merupakan daerah pertama di Sulawesi Tenggara yang menyatakan diri sebagai wilayah de fakto Republik Indonesia dengan Andi Kasim Sulewatang Ngapa selaku Petor/Kepala Pemerintahan Republik Indonesia di Kolaka".
Pernyataan tersebut adalah sesuatu yang menyesatkan dan tidak dapat dipertangung jawabkan. Sulewatang adalah sebuah jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan lokal, khususnya di wilayah di Sulawesi Selatan, sebelum dan selama masa kolonial.
Saat kolonial Belanda datang, mereka sering kali tidak menghapus seluruh struktur kerajaan yang ada. Sebaliknya, mereka mengintegrasikannya ke dalam sistem administrasi mereka untuk mempermudah kontrol, meskipun kekuasaan sesungguhnya tetap dipegang oleh Belanda.
Pada awal tahun 1942, Jepang melancarkan serangan ke wilayah Hindia Belanda. Setelah pertempuran yang sengit, Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) menyerah di Jawa pada tanggal 8 Maret 1942.
Penyerahan Belanda kepada Jepang: Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Subang. Peristiwa ini dianggap sebagai titik akhir kekuasaan kolonial Belanda di Hindia Belanda.
Perubahan sistem pemerintahan: Meskipun jabatan sullewatang sudah ada sebelum kedatangan Belanda (mulai sekitar tahun 1674), sistem pemerintahan kolonial yang mengawasi jabatan ini berakhir ketika Jepang mengambil alih.
Jabatan yang bervariasi: Jabatan sullewatang tidak diterapkan secara seragam di seluruh wilayah Hindia Belanda. Contohnya, di Campalagian, jabatan ini berakhir ketika Ammana Majju memulai pemerintahannya.
Oleh karena itu, jabatan Sulewatang yang berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda secara efektif berakhir ketika kekuasaan kolonial itu sendiri berakhir pada tahun 1942.
1. KONGGOASA LATAMBAGA
Latar Sosial dan Genealogis
Dalam struktur sosial Tolaki–Mekongga, keturunan bangsawan memegang peran ganda sebagai pemimpin adat, mediator serta penjaga stabilitas komunitas.
Meskipun tidak terdapat arsip tertulis resmi mengenai silsilahnya, penyebutan Latambaga pada nama belakang beliau mengindikasikan hubungan genealogis atau teritorial dengan pusat pemerintahan adat pada masa pra-kolonial hingga awal kolonial.
Kedudukan ini menempatkan Konggoasa dalam lingkup pengaruh yang luas terhadap masyarakat diwilayah Kerajaan Mekongga, termasuk kawasan Uluiwoi (Kolaka Timur), Lalonggasumeeto (Konawe Selatan) dan lainnya.
Konteks Historis
Penempatan nama “Latambaga” menguatkan indikasi bahwa ia berakar pada wilayah adat Latambaga, salah satu pusat politik di Mekongga. Dalam struktur sosial Tolaki-Mekongga, posisi tersebut umumnya memiliki tanggung jawab dalam bidang keamanan, penyelesaian sengketa dan koordinasi masyarakat pada masa-masa genting.
Ketegangan kembali meningkat pada masa Revolusi 1945–1949 ketika pasukan NICA berusaha menguasai kembali wilayah Sulawesi Tenggara.
Dalam sistem adat Mekongga, tokoh seperti Konggoasa sebagai putra Mahkota biasanya memegang peranan penjaga hubungan antara adat dan pemerintahan kolonial atau pascakolonial.
Kedudukan inilah yang menjadikan Konggoasa berpotensi besar memimpin gerakan masyarakat pada masa pergolakan 1942–1949 ketika Belanda/NICA berupaya kembali menguasai kawasan Sulawesi Tenggara khususnya Kolaka.
Di banyak wilayah termasuk Kolaka beberapa tokoh adat menjadi figur penting yang mengorganisasi masyarakat untuk menolak pendudukan ulang penjajahan di Wonua Mekongga.
Aktivitas dan Perjuangan
Tidak ada bukti bahwa ia tergabung dalam struktur resmi TKR/TNI; namun pola perlawanan lokal yang dilukan pada masa itu lebih sering bersifat gerilya-komunitas sebagai pimpinan yang memiliki pengaruh moral dan genealogis.
Perjuangan di Kolaka pada periode 1945-1949 melibatkan berbagai tokoh dari berbagai daerah, antara lain; Ambon, Palopo, Ujung Pandang (sekarang Makassar) dll yang berpusat di Kolaka sebagai pusat perjuangan di Sulawesi Tenggara saat itu.
Perlawanan yang dipimpin Konggoasa disebut berfokus pada:
Pertempuran fisik yang terjadi pada 19 November 1945 di Sabilambo, pengamanan wilayah, penyediaan logistik bagi pemuda yang berjuang, penolakan terhadap pungutan paksa (bahan pangan dan tenaga) dan sebagai koodinator antar-wilayah adat Kerajaan Mekongga.
Peran dalam Sistem Sosial Tolaki–Mekongga
Konggoasa berperan sebagai katalisator sosial yang mempersatukan masyarakat menghadapi tekanan eksternal.
Peran dalam Perjuangan Kemerdekaan
-
Pasukan NICA menjadikan Konggoasa sebagai target pengejaran, terutama di wilayah Uluiwoi–Andoolo Lama.
-
Ia dianggap oleh kolonial sebagai pemimpin lokal yang mengorganisir perlawanan rakyat.
-
Perlawanan yang dilakukan bersifat gerilya, memanfaatkan jaringan adat, hutan Mekongga yang luas, dan solidaritas masyarakat.
-
Penyembunyian logistik,
-
Perlindungan pelarian pro-Republik,
-
Sabotase jalur pos NICA, dan
-
Pengibaran simbol-simbol Republik (misalnya Merah Putih) sebagai bentuk penolakan terhadap NICA.
Warisan dan Ingatan Kolektif
2. M. NUR LATAMORO
Latar Sosial, Peran Publik dan Pengenalan Awal
Konteks Historis
Tokoh ini diperkirakan aktif antara 1930–1960-an, yakni masa peralihan antara pendudukan kolonial, pendudukan Jepang, masa revolusi, hingga pembentukan awal pemerintahan daerah. Kolaka bagian timur pada masa itu masih berupa wilayah dengan administrasi terbatas, sehingga tokoh masyarakat memegang peran signifikan dalam menggerakkan komunitas.Aktivitas Sosial dan Perjuangan
Dalam banyak kasus perjuangan daerah, tokoh seperti Latamoro adalah “pejuang penopang republik” tokoh adat yang mengatur komunitasnya sekaligus menunjukkan eksistensinya membela komunitas adat bahkan dengan senjata sekalipun dan menopang ruang sosial agar republik bisa bertahan di daerah yang jauh dari kendali pusat.
Berdasarkan pola sejarah kawasan Kolaka Timur dan histori sosial masyarakat Tolaki Mekongga di wilayah Timur (Mowewe–Tirawuta–Lalolae), Nur Latamoro terlibat dalam:
-
Mobilisasi masyarakat untuk mendukung Republik pasca Proklamasi 1945.
-
Penguatan pemerintahan lokal setelah Jepang menyerah dan vacumnya kekuasaan.
-
Menjadi penghubung antara tokoh adat, pemimpin kampung, dan pemerintahan republik awal.
-
Mengorganisir logistik, keamanan lokal, dan menghadirkan stabilitas pada masa pemberontakan dan tekanan kolonial.
Walaupun tidak tercatat sebagai figur militer, perannya dapat dikategorikan sebagai pejuang sipil mereka yang mendukung terbentuknya pemerintahan RI dan menolak kembalinya pengaruh kolonial.
Peran dalam Transformasi Sosial Kolaka Timur
Tokoh seperti ini sering menjadi jembatan antara masyarakat adat, pemerintah kolonial sisa, dan pemerintahan republik baru.
Warisan dan Ingatan Masyarakat
Penutup








No comments:
Post a Comment