TAB MENU

BUDAYA TOLAKI MEKONGGA

EEN EN ANDER OVER DE TOLAKI VAN MEKONGGA (ZUIDOOST CELEBES) 

Berbagai Hal Mengenai ToLaki di Mekongga (Sulawesi Tenggara)

Oleh: Dr. Alb. C. Kruyt
(Terjemahan)

                      
Sammler von Waldprodukten in Mekongga, mit Jacken und Schamsehurz aus Baumbast
(Zwei Leute tragen je einen jungen Blattsproß der Gebang-Palme)
"Pengumpul hasil hutan di Mekongga, dengan jaket dan rok terbuat dari kulit
(dua orang masing-masing membawa tunas daun palem gebang muda)"
Sumber: Elbert, J. Die Sunda-Expedition des Vereins für Geographie 1911
(Gambar: Koleksi Pribadi)



Pendahuluan

Pada bulan Juli 1920 saya dengan Tuan J. Kruyt melakukan sebuah perjalanan ke daerah pedalaman di onderafdeeling Kolaka di Sulawesi Tenggara. Kami hanya mempunyai waktu yang terbatas sehingga dalam melakukan penelitian ini hanya dapat menjangkau sebagian kecil dari seluruh wilayah yang ada.
Oleh karena itu, data-data yang berhasil kami kumpulkan juga tidak banyak. Jalan yang kami lalui sudah pernah kami ceritakan di dalam laporan perjalanan kami yang dimuat juga di dalam majalah Tijdschrift van het Aardrijkskundige Genootschap Serie kedua, Jilid 38, halaman 689-704. Dari laporan tersebut yang berisi mengenai hasil penelitian saya maka orang dapat mengetahui betapa besarnya saya mengucapkan terima kasih kepada H. Van Der Klift, seorang guru zendeling di Mowewe. Dia selalu mengantar kemanapun saya pergi dan yang terpenting juga dia sebagai penerjemah saya. Daerah yang saya kunjungi belum banyak dimuat didalam berbagai penerbitan.
Dr. Sarasin adalah merupakan orang Eropa yang pertama kalinya mengunjungi daerah ini pada saat dia melakukan perjalanan di Sulawesi (Reise von der Mingkoka-Bai nach Kendari, Sudost Celebes, hlm. 334, bagian pertama berjudul “Reisen in Celebes”). Pada waktu hasil tulisannya diterbitkan juga memperoleh catatan dari Tuan F.Treffers selaku penguasa wilayah Kendari pada waktu itu (Enkele kantteekeningen op”Reise von der Mingkoka-Bai nach Kendari, Bab VI “Reisen in Celebes” oleh Dr. P Sarasin dan F. Sarasin, jilid I, Tijdschrift Bataviaasche Genootschap, Jilid 55, 1913, hlm.223). Dalam hal etnologi tentu saja tulisan ini masih belum berarti apa-apa. Hal ini (mengenai Mekongga) juga hanya sedikit saja disinggung di dalam karya Dr. J. Elbert “Die Sunda Expedition”.

Pada tahun-tahun terakhir ini tulisan misionaris H. Van Der Klift banyak dimuat di dalam berbagai majalah zending dengan maksud agar banyak pihak yang tertarik untuk lebih mendalami mengenai penduduk ToLaki sebagai penduduk di sebagian wilayah Sulawesi ini. Di dalam catatan perjalanan kami sudah diberitahukan bahwa penduduk ToLaki ternyata mendiami sebuah wilayah yang lebih luas lagi dari yang sudah pernah ditulis sebelumnya. Juga mengenai daerah tempat tinggal penduduk ToMowewe (suku Tolaki Mekongga yang mendiami Mowewe) yang merupakan fokus penelitian kami pada saat itu ternyata wilayahnya lebih luas dan suku ini termasuk ke dalam kelompok suku ToLaki yang besar.

Tuan H. Van der Klift juga mengatakan bahwa bahasa dan adat istiadat penduduk wilayah Mekongga yang tidak begitu luas hanya mempunyai sedikit perbedaan dengan bahasa dan adat istiadat penduduk ToLaki. Dengan demikian kiranya dapat disimpulkan bahwa penduduk ini juga kemungkinan besar berasal dari suku ToLaki. Selain itu suku ToLaki juga mempunyai hubungan persaudaraan yang dekat dengan penduduk suku-suku yang tinggal di daerah sekitar danau Malili dan Mori. Berdasarkan penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Tuan J. Kruyt maka ternyata benar bahwa suku ToLaki termasuk ke dalam kelompok besar suku Mori yang dahulu berpindah tempat asalnya di daerah utara ke daerah di selatan yang menjadi tempat tinggal mereka sekarang ini. Perpindahan ini mengambil rute melalui sepanjang sungai Lasolo yang berhulu di dekat danau Towuti. Melalui sungai inilah maka kemudian mereka sampai di sungai Konawe. Dari sungai ini kemudian mereka lambat laun akan sampai di daerah selatan.


Tradisi Dan Adat Istiadat

Sekarang kita akan membicarakan mengenai seberapa dekat tingkat hubungan keluarga yang dilarang di dalam perkawinan di antara mereka (suku Tolaki Mekongga). Mengenai hal ini saya dapat mengatakan dengan tegas bahwa mereka sangat tidak paham mengenai aturan-aturan tersebut (disebabkan keterbatasan pemahaman bahasa). Pada waktu saya menanyakan hal tersebut kepada beberapa orang maka jawaban mereka selalu tidak sama. Hal ini tentunya sebagai akibat dari kurang mengertinya mereka terhadap pertanyaan yang diajukan dan juga waktu yang tersedia sangat singkat untuk melakukan penelitian kepada lebih banyak lagi orang dari daerah tersebut. Tentu saja kemudian saya hanya memperoleh data-data yang sangat terbatas di dalam penelitian saya tentang permasalahan ini seperti yang akan saya bicarakan di bawah ini.

Sejauh ini dapat diketahui bahwa di kalangan penduduk ToLaki terutama yang tinggal di daerah Toraja dan Mori tidak terdapat aturan yang jelas mengenai siapakah yang lebih berkuasa antara ayah dan ibu. Saudara laki-laki dari pihak ayah maupun ibu semuanya disebut ma’ama (paman) saya, sedangkan saudara wanita dari ayah dan ibu disebut naina (tante atau bibi) saya.

Secara umum yang terjadi di kalangan penduduk ToMowewe yang tinggal di daerah Sanggona dan Walatoma sangat dilarang untuk melakukan perkawinan antara orang tua dengan anaknya sendiri, dengan anak-anak saudaranya dan juga antar anak mereka sendiri. Apabila larangan ini dilanggar maka pasangan yang melakukan perkawinan tersebut akan dibawa kepada pemimpin mereka dan biasanya mereka akan dijatuhi hukuman mati. Biasanya mereka kemudian akan dibawa ke sebuah pulau di teluk Kolaka (teluk Mekongga) untuk selanjutnya diikat dengan bambu dan ditenggelamkan ke dalam laut. Selain itu juga terdapat cara eksekusi yang lain yaitu dengan cara dibunuh langsung dengan menggunakan sebuah pedang atau parang. Mengenai penyebab jenis hukuman mati dengan cara yang berbeda ini saya tidak mengetahui aturan-aturan yang berhubungan dengan hal itu. Pemimpin Pehanggo mengatakan kepada saya bahwa yang menentukan dalam hal cara eksekusi mati dengan cara dibunuh menggunakan pedang atau ditenggelamkan ke laut ialah raja. Orang-orang di Walatoma dan Singgere juga mengatakan kepada kami bahwa apabila yang melanggar aturan itu ialah perkawinan antara ayah dengan anaknya atau antara saudara kandung sendiri maka jenis hukuman matinya ialah dengan cara ditenggelamkan ke laut. Apabila pelanggaran itu ialah perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak dari saudara kandung laki-laki atau wanitanya maka biasanya hukuman mati yang dilakukan ialah dengan cara dibunuh dengan menggunakan sebuah pedang. Cara yang terakhir ini tentunya berdasarkan alasan bahwa pelanggaran yang dilakukan mereka termasuk kategori lebih ringan daripada yang pertama disebutkan di atas.

Apabila terjadi perkawinan antara dua orang saudara kandung maka menurut kepercayaan mereka maka hal itu akan berakibat terjadinya bencana seperti kekeringan panjang atau hujan lebat terus menerus yang akan merusak tanaman mereka. Juga bentuk lain bencana dapat berupa wabah penyakit yang akan banyak memakan korban penduduk meninggal dunia. Demikian juga apabila terjadi perkawinan antara anak keponakan atau yang disebut potehe monggoaso maka hal itu tidak diperbolehkan oleh karena keduanya masih bersaudara dekat dan disebut seperti oRuo kare aso wotolu yang artinya dua kaki dengan satu badan.
Anak keponakan di sini berarti berlaku semuanya baik untuk anak saudara laki-laki maupun anak saudara perempuan. Di beberapa daerah terutama di Watumendonga dan Singgere perkawinan antara anak keponakan (sepupu sekali) ini jelas dilarang akan tetapi di desa-desa lainnya di mana kami sempat bertanya tentang hal itu ternyata perkawinan semacam ini tidak dilarang asalkan sudah melalui proses “pendinginan”. Kewajiban melakukan pendinginan ini disebut upacara mosehe.

Mosehe ialah sebuah upacara pengorbanan dengan hewan berupa seekor kerbau berwarna putih dan seekor anjing. Anjing tersebut hanya boleh dibunuh oleh seseorang dari Laiwoy yaitu sebuah daerah di sebelah utara daerah ToLaki yang tentunya dari segi jarak lebih dekat dengan daerah asal-usul suku ToLaki. Seseorang itu akan diundang untuk datang ke tempat upacara mosehe dilakukan atau seseorang Laiwoy yang kebetulan sedang melakukan perjalanan sampai di dekat desa tempat upacara dilakukan. Bagi penduduk yang tinggal di daerah Mekongga maka mereka oleh raja dilarang untuk membunuh seekor anjing. Seseorang dari Laiwoy yang diundang untuk membunuh anjing yang akan dikorbankan itu sebelumnya akan menerima sebuah cincin rotan yang disebut Kalo atau oKalo. Seorang laki-laki biasa boleh menggunakan cincin rotan tersebut sebatas hanya sebagai sebuah “surat” kepada orang lain yang sama kedudukannya. Pengiriman cincin rotan ini juga dapat diartikan sebagai panggilan kepada seseorang dari kelompok bangsawan atau anakia. Hal ini disebut dengan istilah mabusu atau berarti seseorang yang diundang tersebut diharapkan akan dapat menghentikan bencana wabah penyakit yang mematikan yang biasanya dalam wujud korban perutnya membesar. Bokeo atau raja adalah orang yang mempunyai hak untuk menggunakan cincin rotan ini untuk memanggil setiap orang tanpa melihat kedudukannya. Orang ToLaki yang tinggal di luar daerah Mekongga akan membunuh sendiri anjing yang dijadikan sebagai binatang korban dalam berbagai acara yang mereka lakukan seperti diuraikan di bawah ini.

Apabila sekarang penduduk To Laiwoy akan membunuh binatang anjing sebagai korban di dalam upacara “mosehe” atau upacara penyucian lainnya maka mereka akan memakai baju yang bagus dengan dilengkapi ikat kepala berwarna putih yang terbut dari bahan kulit kayu dan juga memakai gelang tembaga. Pendeta (mbuakoi) membuat sebuah lingkaran di atas tanah dan kedua calon mempelai masuk ke dalam lingkaran tadi. Selain itu pendeta juga akan meletakkan dua butir telur di dalam lingkaran itu sebagai tanda bahwa kedua calon mempelai tersebut masih bersaudara dekat. Sesudah pendeta selesai membacakan berbagai mantranya maka kemudian hewan korban berupa seekor kerbau putih akan disembelih. Pada saat kerbau akan disembelih maka kemudian datang seseorang yang menghalang-halanginya. Orang ini bisa seorang laki-laki ataupun seorang wanita disebut tolea.

Saya akan menguraikan mengenai tolea ini lebih lanjut. Tolea ini akan berdiri di depan kerbau yang akan disembelih yang masih terikat kuat di sebuah tiang. Kemudian kedua calon mempelai beserta orang tuanya akan bersama-sama memegang tali kerbau itu erat-erat sehingga kerbau itu tidak lari berputar-putar. Selanjutnya tolea akan berkata seolah-olah kepada kerbau itu sebagai berikut: "kedua orang ini ingin menikah akan tetapi sebenarnya tidak diperbolehkan oleh karena mereka masih bersaudara dekat, akan tetapi mereka membawa binatang korban yang semuanya berwarna putih (yang berarti baik) di antaranya kerbau putih ini”. Kemudian sesudah itu tolea akan segera menyembelih kerbau itu dan darahnya akan dimasukkan ke dalam lubang di tanah yang sudah disiapkan sebelumnya. Daging kerbau korban ini kemudian akan dimakan bersama-sama orang-orang yang menghadiri upacara ini. Juga kedua telur yang berada di dalam lingkaran dengan sejumlah daging kerbau tadi akan dibungkus dengan baju calon mempelai dan diletakkan di dalam sebuah kapal-kapalan berukuran kecil untuk selanjutnya dihanyutkan di sebuah sungai.

Dua orang berlainan jenis yang bersaudara jauh di banyak desa diperbolehkan melangsungkan perkawinan di antara mereka dan hanya di beberapa desa saja (Watumendonga dan Singgere) masih diwajibkan melakukan upacara pengorbanan mosehe seperti di atas. Pada saat saya menanyakan kepada banyak orang mengenai perkawinan di antara keturunan mereka yang melakukan pernikahan dengan melalui upacara pengorbanan ini maka tidak seorang pun yang dapat memberikan jawaban dan mereka juga tidak terlalu mempersoalkannya. Menurut saya upacara pengorbanan itu tetap diperlukan apabila terjadi perkawinan antar saudara anak keturunan pasangan suami istri tersebut seperti halnya yang dilakukan oleh penduduk Toraja yang tinggal di Posso.

Terhadap keluarga yang sudah menikah hubungan di dalam keluarga ToLaki tampak lebih bebas. Mereka yang sudah menikah baik dari saudara laki-laki maupun perempuan akan dipanggil paman dan bibi (awo). Sebutan yang sama juga berlaku bagi ayah dan ibu tiri serta anak tiri. Perkawinan seorang janda yang ditinggal suaminya meninggal dunia atau bercerai boleh melakukan perkawinan lagi. Kasus seperti ini di Sanggona dilarang akan tetapi orang-orang di sana tidak dapat memberikan alasan-alasannya mengapa hal itu dilarang.

Perkawinan dengan janda ayahnya yang bukan ibu kandungnya juga secara terang-terangan dilarang. Hal yang serupa masih tetap diperbolehkan di Walatoma. Perkawinan dengan janda dari saudara laki-lakinya di semua daerah masih tetap diperbolehkan.
Menantu laki-laki maupun menantu wanita sama-sama disebut baisa. Sebutan ini juga berlaku untuk ayah dan ibu mertua. Saudara laki-laki dari seorang istri disebut ela dan saudara wanita dari seorang istri disebut hine sedangkan saudara wanita dari seorang suami disebut bea.

Penghormatan yang berlebihan dari seorang anak menantu terhadap mertuanya di antara penduduk ToLaki tidak dikenal. Sebagai contohnya apabila seorang anak menantu menggunakan baju atau peralatan makan mertuanya tidak dilarang. Juga tempat tidur mertuanya bagi seorang anak menantu tidak dianggap sebagai tempat yang terlarang seperti halnya yang berlaku di antara penduduk Posso. Seorang anak menantu juga di sini diperbolehkan untuk makan bersama-sama dengan mertuanya. Di antara saudara-saudara istrinya maka mereka diperbolehkan memanggil suami saudaranya itu dengan sebutan “inggoo”, sementara ia tidak boleh memanggil mertuanya dan juga saudara-saudara istrinya dengan panggilan nama mereka. Dalam hal ini maka mertualah yang boleh memanggil nama anak menantunya. Perkawinan antara menantu laki-laki dengan ibu mertuanya yang menjadi janda tidak diperbolehkan, akan tetapi apabila hal ini terjadi maka mereka tidak dijatuhi hukuman mati melainkan masing-masing hanya dipisahkan dan dibawa ke tempat yang saling berbeda.

Perkawinan anak menantu laki-laki dengan saudara wanita dari bapak dan ibu mertuanya diperbolehkan meskipun istrinya sendiri masih hidup. Akan tetapi kasus perkawinan ganda seperti ini tidak pernah terjadi. Hal ini dapat saja terjadi apabila seorang suami bermaksud mengambil saudara wanita istrinya untuk menjadi istri keduanya. Dalam kasus ini maka orang-orang jelas akan menjadi marah oleh karena perkawinan seorang laki-laki dengan dua orang kakak beradik wanita dalam waktu yang bersamaan disebut “oKula” (suatu perbuatan yang mendatangkan kepanasan atau penderitaan baik terhadap pelaku maupun kepada orang-orang yang berada dikampung itu, red). Apabila kedua belah pihak menyetujui perkawinan ini maka mereka harus mengadakan upacara pengorbanan yang berat untuk menangkal berbagai akibat yang dipercaya akan merugikan penduduk.

Di Sanggona hewan korban yang dikorbankan berupa 4 ekor kerbau. Di Laluha kasus seperti ini pernah terjadi dan istri kepala kampung membunuh saudara wanitanya oleh karena suaminya mencintainya dan akan mengambilnya sebagai istri kedua. Tindakan sang istri yang membunuh saudara wanitanya sendiri itu dibenarkan oleh hukum yang berlaku di sana.

Sebuah perkawinan antara seorang laki-laki dengan saudara perempuan suami adik perempuannya juga termasuk kategori perkawinan “oKula”. Dipercaya hal ini akan mengakibatkan saudara perempuannya atau suaminya akan meninggal dunia. Di Singgere perkawinan ini disebut “mesila wora” dan di Sanggona dan Walatoma disebut dengan istilah “mesula wua”. Istilah-istilah tersebut berarti saling berganti buah pinang oleh karena seorang gadis biasanya disebut dengan sebutan “buah pinang”. Apabila perkawinan ini terjadi maka mereka diharuskan untuk mengadakan upacara pengorbanan untuk “pendinginan” (upacara mosehe) dan menolak bala. Ritual upacara ini juga sama dengan upacara lainnya yaitu menyembelih binatang kerbau oleh kedua belah pihak calon mempelai.

Sebuah perkawinan antara dua orang saudara laki-laki dengan dua orang saudara wanita juga termasuk dalam kategori perkawinan oKula yang disebut tumutuda. Untuk menolak akibat-akibat buruk yang akan ditimbulkannya maka mereka wajib melakukan upacara pendinginan juga. Pada penduduk Singgere binatang kerbau yang harus dikorbankan dalam upacara ini berjumlah 2 ekor kerbau.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat sebuah kepercayaan di antara penduduk bahwa apabila terjadi sebuah perkawinan antar saudara dekat atau perkawinan "panas" (oKula) maka dapat berakibat munculnya berbagai bencana seperti wabah penyakit, musim kemarau atau musim hujan yang berkepanjangan atau juga kegagalan panen. Dalam hal ini dapat juga terjadi perkawinan-perkawinan “panas” seperti di atas yang dilakukan orang secara sembunyi-sembunyi sehingga tentu saja tidak terdapat peraturan untuk melakukan sebuah upacara pengorbanan. Oleh karenanya, untuk mengantisipasi hal tersebut dan sebagai ungkapan rasa syukur maka pada setiap tahun sesudah musim panen selesai dilakukan maka diadakan sebuah upacara persembahan wajib. Upacara seperti ini terdapat pada semua kelompok penduduk di Sulawesi. Upacara ini dilakukan di sebuah danau kecil. Penduduk ToLaki yang tinggal di daerah Kendari terutama di Tinondo, sebagian penduduk yang tinggal di Rate-rate dan penduduk Andolo bersama-sama berkumpul di pinggir danau Opa (mungkin yang dimaksud adalah danau Aopa red.) yang merupakan sebuah danau besar yang pada musim kemarau menjadi seperti tanah berawa-rawa. Sebagian lagi penduduk ToLaki lainnya terutama yang tinggal disisi seberang kanan sungai Konawe, penduduk Tinondo dan sebagian penduduk Rate-rate tersebut mengadakan upacara di sebuah tempat yang disebut sungai Koloimba di daerah LaloLae yang letaknya tidak jauh dari Mowewe. Di daerah sebelah barat lagi yaitu di Laika Danda terdapat sebuah danau kecil juga yang disebut danau oBeka. Penduduk dari beberapa desa lainnya melakukan upacara tersebut di tempat ini yang menurut beberapa penduduk kebisaan itu berlangsung belum lama atau sekitar 20 tahun terakhir ini.

Selama kami tinggal di Kolaka yang bertepatan dengan bulan Juli banyak kelompok-kelompok penduduk yang mengadakan upacara panen di Koloimba. Pendeta (mbuakoi) Mowewe bernama Kotuana menceritakan lebih lanjut mengenai sejarah upacara persembahan panen tersebut. Menurutnya tidak diketahui dengan pasti siapakah orang yang pertama kali mencetuskan adanya upacara tersebut. Pasaeno tokoh suci Momewe sendiri yang sudah sering kali disebut-sebut di dalam berbagai laporan perjalanan bukanlah orang yang menganjurkan diadakannya upacara tersebut. Pada jaman dahulu danau Opa belum ada dan di tempat itu tinggal dua orang bersaudara laki-laki dan perempuan yang keduanya saling jatuh cinta. Sebagai hukuman atas tindakan mereka yang melanggar adat tersebut maka daerah tempat mereka tinggal itu tergenang air dan tenggelam. Pasangan kakak beradik tersebut dapat meloloskan diri dari bencana tersebut dan pergi ke Koloimba. Di tempat ini penduduk tidak mengetahui kisah sepasang kakak beradik tersebut dan menerimanya dengan baik.

Pada suatu hari penduduk di sana mengadakan sebuah pesta dengan melakukan tari-tarian sepanjang malam (molulo). Pada saat ayam-ayam jantan mulai berkokok yang menandakan bahwa hari sudah menjelang pagi dan orang-orang sudah melewati batas dalam berhubungan dengan tidak mempersoalkan hubungan suami istri lagi maka laki-laki yang menikah dengan saudaranya sendiri itu bernyanyi yang isinya menceritakan bahwa ia sudah menikah dengan adiknya sendiri: Toreano molowu, tundumo opu mbiha yang berarati : “semuanya menjadi rawa-rawa dan tak seorang pun yang tersisa hidup-hidup”. Sesudah ia mengucapkan kata-kata tadi maka tiba-tiba air bah datang dan semuanya saling berkelahi sampai mereka tenggelam di dalam air. Air yang menenggelamkan mereka juga berwarna merah oleh darah mereka sendiri sehingga sampai sekarang di sini terdapat sungai yang disebut ”sungai merah” (sungai sabilambo). Selanjutnya daerah tersebut tenggelam oleh air bah bersama dengan semua penduduknya. Oleh karena itulah sekarang banyak penduduk yang datang kesini setiap tahun sekali untuk melakukan upacara persembahan dan mereka memohon “janganlah daerahnya dijadikan rawa-rawa lagi dan janganlah tanaman mereka musnah oleh karena kekeringan”.

Penduduk yang akan mengikuti upacara persembahan tersebut pada malam pertama akan tidur bermalam di desa LaloLae yang terletak dekat dengan tempat upacara tersebut akan dilaksanakan. Kemudian pada pagi harinya mereka tepat pada saat matahari akan terbit akan memotong ayam-ayam dan memasak nasi. Pada upacara ini biasanya yang wajib untuk mengikutinya ialah para pemuda dan pemudi. Sesudah semua masakan selesai dimasak, maka kemudian akan dibawa ke tempat upacara itu berlangsung dengan dilengkapi dengan sirih pinang, kapur dan tembakau. Semua makanan dan perlengkapan ini sementara akan diletakkan di tempat upacara akan dilangsungkan dan sementara itu orang-orang mulai menari sambil bernyanyi. Tarian ini sesuai dengan aturannya hanya boleh dilakukan di dalam rumah saja diatas lantai tanah. Mereka hanya bernyanyi saja tanpa diiringi dengan tabuhan tawatawa atau karandu (genderang atau gong). Sementara orang-orang mulai menari dan bernyanyi maka si pendeta akan mendirikan panggung untuk sebuah upacara persembahan atau yang disebut oTombi. Panggung ini terdiri atas empat buah tiang yang terbuat dari batang pohon pisang yang masing-masing dihubungkan dengan bilah-bilah bambu dan di atasnya juga dibuat semacam lantai dari bilah-bilah bambu. Di bagian timur panggung atau meja upacara ini akan ditancapkan sebuah batang bambu. Di atas bambu itu akan dibentangkan dua batang kayu dengan bentuk silang seperti sebuah salib dengan cara melubangi tiang bambu tersebut. Tiang bambu itu sendiri akan dihias dengan hiasan-hiasan kain yang dibuat dari kulit pohon. Di tengah-tengah dua tiang di sebelah timur juga akan ditancapi dengan batang-batang bambu yang ujungnya diberi bendera kecil dari kain katun. Setiap keluarga yang mengikuti upacara tersebut wajib untuk menancapkan potongan bambu kecil berbendera ini yang disebut susu ureu. Diatas lantai panggung/meja persembahan diletakkan banyak buah pinang dan daun sirih oleh karena setiap keluarganya di sini diwajibkan untuk meletakkan sejumlah buah pinang dan daun sirih. Diujung tiang bambu yang dipancangkan di panggung dihiasi dengan daun-daun pohon towoa (latin: dracaena) dan pohon doule yaitu sejenis pohon yang di daerah Posso dikenal dengan nama kadombuku. Disamping itu juga terdapat daun-daun pohon lanu meeto dan pohon lanu motaha. Daun-daun tersebut yang lengkap dengan potongan batang pohonnya juga akan dipancangkan di bawah panggung upacara. Daun-daun pohon towoa tersebut yang berwarna merah dan hijau, akan tetapi saya hanya melihat di sana daun yang berwarna hijau saja. Kedua jenis daun ini sama-sama diperbolehkan untuk dipergunakan di dalam upacara keagamaan. Daun-daun ini biasanya dipergunakan sebagai kuas untuk memercikkan air di dalam sebuah proses pengobatan. Menurut penuturan kepala kampung Pehanggo pohon towoa tersebut dibawa oleh nenek moyang mereka yang bernama Pasaeno dari atas langit. Di sebelah panggung upacara oTombi juga masih terdapat sebuah panggung/meja kecil yang disebut petande. Panggung ini berfungsi untuk meletakkan berbagai perlengkapan upacara untuk para arwah.

Di dalam berbagai upacara yang lain maka keberadaan panggung-panggung ini memang wajib dibuat. Di dalam upacara pengobatan sesuatu penyakit maka panggung ini berfungsi untuk meletakkan batang-batang rokok yang sudah setengah terbakar. Rokok-rokok itu berfungsi sebagai korban yang dipersembahkan kepada para arwah leluhur. Penduduk ToLaki ternyata dahulunya tidak mempunyai kebiasaan merokok dan kebiasaan ini mereka dapatkan dari orang-orang asing yang datang kesana.

Pada saat si pendeta melakukan pembacaan berbagai macam mantranya maka ia akan berdiri di depan meja persembahan dan menghadap kearah timur. Upacara pembacaan mantera ini berlangsung sampai dengan nyanyian lulo selesai dinyanyikan. Selanjutnya para peserta upacara berlarian untuk menceburkan diri mereka kedalam sebuah sungai dan disini si pendeta akan memercik-mercikkan air kepada mereka. Sesudah acara mandi-mandi di sungai ini selesai dilakukan maka kemudian acara sajian makanan mulai dihidangkan dan dimakan bersama-sama. Pada saat upacara selesai dan orang-orang akan pulang ke tempat tinggalnya masing-masing maka setiap orang tersebut akan membawa sebilah bambu yang diisi dengan air dari sini dan sesampainya di desa maka air dalam bambu itu akan dipercikkan ke saudara-saudara lainnya yang tidak mengikuti upacara tersebut secara langsung.

Upacara persembahan ini tidak hanya dianggap sebagai sebuah kewajiban untuk menangkal pengaruh buruk dari perkawinan sedarah saja melainkan juga untuk memohon hasil panen yang selalu baik dan juga bertujuan untuk memintakan berkah kepada calon anak-anak yang mereka inginkan. Orang yang hanya mempunyai anak-anak perempuan saja akan memohon diberi lagi anak laki-laki, juga sebaliknya orang yang hanya mempunyai anak laki-laki saja akan meminta lagi untuk dapat mempunyai anak perempuan. Terhadap permintaan ini maka biasanya si pendeta akan meletakkan sirih-pinang di tepi sebuah sungai dan kemudian membacakan mantera-mantera. Sesudah itu maka sirih-pinang tersebut akan dihanyutkan di sungai itu. Orang yang mempunyai permohonan tersebut kemudian berjanji kepada para arwah untuk membawa persembahan berupa ayam-ayam jantan kelak apabila keinginannya sudah terwujud. Disamping ayam jantan maka persembahan itu ditambah dengan nasi (siwole) dengan jumlah sebagai berikut: satu ekor ayam jantan dengan 4 nampan nasi; dua ekor ayam jantan dengan 8 nampan nasi dan seterusnya. Persembahan itu nantinya akan dimakan oleh keluarga orang yang melakukan permohonan dengan si pendeta.
 

Sebuah upacara lainnya yang akan diuraikan dibawah ini disebut me’akoi yaitu pada saat orang-orang yang sudah selesai mengikuti upacara panen pulang ke desa mereka masing-masing maka mereka akan mengadakan upacara moboka di rumah pendeta. Mereka akan menggelar dua buah kain sarung dan diatasnya akan diletakkan seember air, dua buah ember berisi telur-telur sebuah cincin tembaga. Setiap kepala keluarga baik laki-laki maupun perempuan akan mencelupkan tangan mereka pada ember yang berisi air tadi dan si pendeta akan membasuh perut, tenggorokan dan kening mereka dengan air sampai basah.

Sesudah semuanya selesai maka dilanjutkan dengan makan bersama dan selanjutnya mereka diperbolehkan untuk memulai mengolah ladang mereka. Selain itu juga diadakan upacara persembahan kepada para arwah yang disebut dengan sebutan sangia. Para sangia ini dipercaya orang tinggal di pohon-pohon besar. Di Mowewe semua hal yang berhubungan dengan pertanian mereka pelajari dari Pasa’eno.

Penduduk ToLaki pada jaman dahulu tidak mengenal sistem ladang basah. Mereka mulai mengenal sistem ini pada saat pemerintah memperkenalkannya kepada mereka. Menurut Tuan Van der Klijft diantara penduduk To Mekongga dilarang untuk menggarap ladang diatas tanah yang ditumbuhi tanaman rumput alang-alang atau semak belukar. Apabila hal ini dilanggar maka para arwah leluhur mereka akan menjadi marah dan akan menghukum orang-orang. Tanaman padi hanya boleh ditanam diatas tanah yang terdapat pohon-pohon yang tumbuh tidak subur (di daerah Posso terdapat sebuah pendapat bahwa tanaman padi yang ditanam diatas tanah yang tumbuh rumput alang-alangnya tidak akan dapat tumbuh dengan baik, akan tetapi tentunya mereka akan sangat heran apabila melihat penduduk Minahasa memperoleh hasil padi yang baik yang mereka tanam diatas tanah yang tumbuh rumput alang-alangnya).

Jadi dalam hal pengerjaan ladang maka cara model Posso-lah yang mereka tiru.
Penduduk To Laki yang tinggal di Walatoma dan juga di Kendari akan menyembelih seekor anjing pada saat mereka mulai menanam padi. Treffers didalam tulisannya berjudul “Kantteekeningen” yang sudah saya singgung diatas menuliskan sebagai berikut: “ Upacara persembahan yang dilakukan sebelum dan sesudah musim panen menggunakan seekor ayam sebagai hewan korbannya (padahal kurang lebih 80 tahun yang lalu yang dijadikan hewan korban ialah anjing”, hlm. 227). Di banyak tempat oleh karena pengaruh agama Islam maka pengorbanan berupa anjing sudah dilarang meskipun demikian menurut beberapa orang hal tersebut masih tetap dilakukan oleh penduduk di daerah sebelah utara Kolaka dan Kendari. Seekor anjing yang dikurbankan di dalam upacara itu kemudian akan dikuburkan di dalam ladang yang akan dikerjakan (pada jaman dahulu darah binatang anjing yang dikorbankan akan di sebar di dalam ladang dan dagingnya akan dimakan bersama-sama; pada saat sekarang tampaknya sudah tidak terdapat orang yang mau makan daging anjing lagi). Di tempat dimana anjing korban dikuburkan kemudian akan dibuat 4 – 5 lubang untuk menanam bulir-bulir padi. Padi yang dihasilkan dari tanaman padi yang ditanam di atas kuburan anjing korban itu disebut sanggoleo mbae yang berarti “jiwa-nya padi”. Pada saat dilakukan panen maka tanaman padi ini akan dipotong pada saat terakhir kalinya.
 

Selama tanaman padi sedang dalam proses pertumbuhan maka sebaiknya segala keramaian suara ditiadakan oleh karena dipercaya akan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman padi tersebut. Kemudian pada saat padi siap untuk dipanen maka diadakan upacara persembahan ladang yang disebut momberepeako dalam bentuk meletakkan sesajian berupa buah pinang dan daun sirih. Menurut Van der Klifjt maka “sesudah hari itu” orang-orang diperbolehkan untuk datang atau masuk kedalam ladang. Hal ini disebut mombado. Pada hari ketiga diadakan persembahan lagi (niduduhi) dan pada hari keempat kembali sebagai hari mombado lagi. Selanjutnya pada hari kelima disebut dengan istilah mombesowi-sowi. Dua atau empat orang (laki-laki dan wanita) biasanya dari golongan budak akan masuk kedalam ladang dan mereka akan memotong padi sebanyak empat ikat padi hai yang terdiri dari 2 ikat kecil dan 2 ikat besar. Ikat-ikat padi ini (pinesowi-sowi) kemudian akan diletakkan didalam kebun dan orang-orang tersebut kemudian pulang ke rumah. Hari kelima ini juga disebut hari mombado. Pada hari keenam atau yang disebut hari menggokoro (bangun) adalah hari untuk melakukan pemanenan.



Diedit / Disempurnakan Oleh : Olank Zakaria