![]() |
| Lembah Simbune di lihat dari Batuan Tinondo, |
SUMBER REFERENSI FAKTUAL SEJARAHSebagian besar sejarah peradaban manusia terungkap melalui penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta serta bukti pendukung. Penelitian sejarah merupakan upaya sistematis untuk menelusuri dan mempelajari peristiwa masa lampau guna memperoleh informasi, pengetahuan, pemahaman, dan makna dari kejadian-kejadian tersebut. Sejarah terbentuknya Kerajaan Mekongga yang beredar saat ini merupakan hasil penafsiran atas berbagai sumber. Sumber sejarah tersebut diantaranya masih dilestarikan oleh beberapa penutur sejarah melalui tradisi pengisahan (puisi, seni dan epos) dalam masyarakat Suku Tolaki disebut nango, taénango, tula-tula, dan anggo. Peristiwa masa lalu yang terekam dalam beberapa cerita rakyat dan masih lestari adalah bentuk apresiasi terhadap nilai-nilai budaya lokal yang menjadi cerminan dari kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga identitas dan sejarah mereka. Lanjutan pelestarian budaya tersebut dilakukan dengan merangkum berbagai kisah, baik dari bentuk teks tertulis maupun dari sumber tradisi pengisahan langsung yang diceritakan secara turun-temurun. Melalui cerita rakyat (mitos, legenda dll) yang masih dilestarikan beberapa di antaranya telah menjadi sumber dan bahan dalam penulisan sejarah Catatan sejarah mengenai peradaban Suku Tolaki di wilayah Kerajaan Mekongga yang dikenal dengan nama To Mekongga telah banyak pula dipublikasikan baik dalam bentuk cetak maupun digital di berbagai situs dan jejaring sosial. Pencatatan sejarah ini dilakukan melalui berbagai pendekatan; ada yang bersumber dari tradisi lisan rakyat, ada pula yang bersifat opini tanpa mengikuti pola heuristik, serta ada pula yang disusun berdasarkan penelitian ilmiah secara komprehensif. Penulisan sejarah mengenai peradaban Suku Tolaki di Mekongga umumnya dilakukan melalui tiga cara berikut: 1. Pendekatan Heuristik, yakni penelitian sejarah melalui penelusuran terhadap sumber dan bukti pendukung sebanyak mungkin, baik berupa sumber tertulis maupun bersumber dari material (artefak).
2. Sumber lisan primer, yaitu kesaksian langsung dari pelaku atau saksi mata peristiwa sejarah. Sumber ini bersifat autentik dan menjadi bukti asli terjadinya peristiwa. Bentuknya dapat berupa cerita rakyat, legenda, mitos, atau hikayat yang dituturkan secara turun-temurun dan umumnya memiliki latar geografis tertentu. 3. Sumber Lisan Sekunder, yaitu hasil penafsiran atau analisis terhadap sumber lisan primer maupun sumber lain. Sumber ini bersifat turunan dan tidak autentik, tetapi tetap dapat dijadikan referensi tambahan dalam penulisan sejarah.
REFLEKSI BUDAYA DALAM CATATAN DAN GEOGRAFIS A. Tantangan Komprehensif dalam Naskah Sejarah Mekongga Berdasarkan Tradisi dan budaya Suku Tolaki Mekongga yang mendiami wilayah Kolaka dan sekitarnya, sangat terikat erat dengan kondisi geografis. Geografi bukanlah sekadar latar belakang, melainkan sumber sejarah (historiografi) itu sendiri. Fakta sumber sejarah ini terefleksikan dalam toponimi dan kisah-kisah yang melibatkan lanskap lokal. Contohnya:
Keterikatan antara manusia dan alam ini merupakan fenomena universal dalam tradisi nusantara, seperti yang terlihat pada Gunung Bawakaraeng di Sulawesi Selatan dan Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat, di mana unsur geografis menjadi inti dari mitos asal-usul (etiologi) masyarakat setempat. Meskipun kekayaan sejarah lisan yang diwariskan, studi peradaban Suku Tolaki Mekongga saat ini menghadapi tantangan serius berupa perbedaan naskah (variasi manuskrip). Beberapa catatan sejarah yang tersedia ditemukan memiliki narasi yang tidak selaras atau bertentangan dalam poin-poin mendasar, antara lain:
Perbedaan naskah ini menuntut dilakukannya penelitian komprehensif, kritis, dan berbasis multidisiplin (sejarah, arkeologi, linguistik, dan antropologi). Tujuannya adalah untuk: Meluruskan kerancuan (diskrepansi): Mengidentifikasi dan memverifikasi keabsahan berbagai versi kisah asal-usul, tokoh pendiri (seperti Mokole), atau garis suksesi kerajaan (kerajaan Mekongga dan Kerajaan KonaWe). Menghindari kesalahpahaman: Memastikan pewarisan sejarah kepada generasi mendatang didasarkan pada data yang telah dikaji secara ilmiah dan disepakati oleh pemangku adat serta akademisi. Selain polarisasi narasi dan perbedaan catatan diatas, perbedaan naskah yang sangat memerlukan klarifikasi mendalam adalah:
B. Dikotomi Terciptanya Identitas Etnis Suku Tolaki Peradaban Tolaki tidak terlepas dari proses pembentukan Suku Tolaki yang diyakini berasal dari wilayah Sulawesi Tengah, berdasarkan kesamaan fisik, budaya, dan bahasa. Salah satu kesamaan bahasa tersebut adalah istilah untuk “raja” yang dalam bahasa Tolaki Mekongga dan bahasa Tolaki KonaWe disebut Mokole, sama halnya dengan penyebutan dalam bahasa suku Mori yang ada di wilayah sulawesi tengah. Terkait asal-usul dan kelompok kekerabatan etnis suku Tolaki tersebut, telah disinggung oleh bangsa eropa dalam sebuah catatan dikatakan:
Pendekatan historis ini juga diperkuat oleh sejumlah peneliti Eropa serta hasil kajian ilmiah Prof. Dr. H. Abdul Rauf Tarimana, beliau adalah Guru Besar Antropologi terkemuka asal Pehanggo, Kecamatan Mowewe Utara, Kabupaten Kolaka Timur, yang menelusuri asal-usul nenek moyang Suku Tolaki hingga ke wilayah Sulawesi Tengah.
Dalam bahasa Tolaki, baik di Mekongga (To Mekongga) maupun di Konawe (To Konawe), tidak dikenal kata "alau". Oleh karena itu, kisah versi (b) diatas dapat dipastikan berasal dari sumber lisan sekunder yang tidak autentik. Hal ini juga dijelaskan dalam artikel “Bukti Sejarah Fatal”, yang mengungkap adanya upaya sekelompok pihak untuk menempatkan diri, kelompok atau golongannya agar menjadi bagian penting dari peristiwa sejarah. C. Terbentuknya Peradaban Tolaki-Mekongga Sebelum terbunuhnya konga'aha atau elang raksasa atau rajawali raksasa, wilayah Kerajaan Mekongga sebelumnya memiliki penyebutan antara lain; "Une Napo" dan "Wonua" yang kemudian bertransformasi menjadi "Wonua Sorume" berdasarkan keadaan alam sekitar yang banyak terdapat tumbuhan sejenis anggrek. Konon Julukan ini diberikan oleh orang-orang yang baru bermigrasi di daerah tersebut. Secara etimologi kata une napo dan wonua memiliki arti yang berbeda. Une Napo dalam Bahasa Tolaki Mekongga artinya Dalam Kawasan Pemukiman, sedangkan Wonua artinya Wilayah atau Negeri, sehingga penggunaan Kata Wonua cenderung mempunyai pendekatan makna yang mengarah pada penyebutan suatu wilayah atau negeri. Wonua oleh Suku Tolaki diartikan sebagai sesuatu yang meliputi seluruh wilayah atau negeri, bukan nama salah satu tempat. Contohnya, Wonua Ndolaki berarti wilayah atau negeri Suku Tolaki, yaitu wilayah yang meliputi kekuasaan Suku Tolaki secara keseluruhan (Konawe, Kendari, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur) dan tidak merujuk pada salah satu tempat. Sesuai fakta catatan dan kajian ilmiah, masa awal kedatangan Suku Tolaki di Wonua baru atau negeri baru di jasirah tenggara pulau Sulawesi (sekarang Sulawesi Tenggara) diidentifikasi berada dan bermukim diwilayah perbatasan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah tepatnya disekitar danau Matana dan Danau Towuti hingga hulu sungai Konawe (Sekarang Wilayah Kec. UeEsi dan Kec. Uluiwoi Kab. Kolaka Timur). Suku Tolaki yang baru bermigrasi disana mulai membentuk beberapa daerah pemukiman yang terdiri dari: Tobu, Napo, dan Lipu.
Kawasan pemukiman awal suku Tolaki inilah yang kemudian dikenal dengan nama Andolaki atau Landolaki sekarang. FAKTA KEBERADAAN KONGGAÁHA A. Berdasarkan Legenda, Mitos dan Dongeng Fenomena asal usul kata “MEKONGGA” yang kemudian berkembang menjadi wilayah KERAJAAN MEKONGGA konon bermula dari kisah terbunuhnya seekor burung elang raksasa dalam bahasa Tolaki disebut kongga’aha. Kisah ini memiliki dua versi yang berbeda:
Perbedaan versi dalam catatan sejarah di atas dan beberapa catatan sebelumnya menjadi bukti bahwa belum ada indikator akurat mengenai catatan peradaban Suku Tolaki, khususnya di wilayah Mekongga. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan pihak-pihak terkait bersama aparat Kerajaan Mekongga menjadikan hal ini sebagai dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut agar diperoleh acuan sejarah utama demi menghindari penafsiran-penafsiran yang tidak autentik. Keberadaan Kerajaan Mekongga saat ini merupakan sebuah legitimasi yang diharapkan mampu menjaga otentisitas dan kelestarian adat, budaya, dan tradisi Suku Tolaki di Mekongga. Di samping itu, peran ini mencakup pelestarian melalui pengenalan kepada generasi muda yang pemahamannya terhadap budaya lokal mulai terdegradasi akibat pengaruh budaya luar. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mengenai efektivitas peran Pembesar Kerajaan dalam merawat dan memajukan budaya asli Suku Tolaki di Mekongga. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa penggunaan lambang legitimasi (Bokeo) berpotensi lebih didorong oleh kepentingan peningkatan status sosial semata, alih-alih pelestarian budaya substantif. Penting untuk direnungkan sejauh mana para tokoh dan pemangku adat Kerajaan Mekongga benar-benar berkontribusi terhadap pelestarian budaya asli Tolaki. Jika simbol kebesaran kerajaan tidak digunakan untuk tujuan pelestarian, melainkan hanya demi gengsi sosial, maka makna historisnya patut dipertanyakan. Adanya narasi sejarah yang berbeda, terutama Kisah yang merujuk pada asal muasal dari negeri alau yang tidak dikenal dalam bahasa Tolaki memunculkan kekhawatiran tentang upaya penyimpangan narasi sejarah autentik. Kekhawatiran ini semakin diperkuat oleh adanya perubahan pada struktur kerajaan, termasuk pemberian jabatan (wakil Bokeo) yang belum pernah ada dalam struktur Kerajaan Mekongga sebelumnya. Fenomena ini mengindikasikan bahwa terdapat tantangan serius dalam menjaga keaslian warisan sejarah di tengah dinamika interpretasi dan kepentingan kelompok tertentu. B. Berdasarkan Penelusuran Kajian Ilmiah Secara implisit, legenda tentang Konga’aha menggambarkan seekor elang raksasa yang memangsa ternak bahkan manusia, dengan bobot mangsa berkisar 35–350 kg. Jika dikaitkan dengan data paleontologi, hewan purba yang memiliki karakteristik serupa adalah Elang Haast, spesies elang terbesar yang pernah hidup di Pulau bagian selatan Negara Selandia Baru (New Zealand) pada masa Pleistosen hingga Holosen. Berdasarkan data empiris hewan purba, burung ini hidup pada periode Kuarter Pleistosen (~1,8 juta tahun) hingga periode Holosen (hingga 1400 M).
Dari data empiris perbandingan tersebut, bahwa kecil kemungkinan Konga’aha dalam legenda benar-benar mampu memangsa manusia seperti yang digambarkan.
Pertanyaan yang muncul adalah: apakah Konga’aha benar-benar hanya hidup dan terbang di atas wilayah Wonua Sorume? Jika tidak, seharusnya legenda serupa juga muncul dalam tradisi lisan bahkan tercatat dalam kisah sejarah kerajaan lain di sekitar Mekongga seperti Konawe dan Moronene. Fakta bahwa kisah legenda Kongga'aha tersebut hanya hidup di Mekongga memperkuat pandangan bahwa legenda Konga’aha merupakan simbol heroik khas masyarakat Tolaki di Kerajaan Mekongga, bukan catatan zoologis historis. Berdasarkan legenda, mitos, dongeng, dan kajian ilmiah di atas, dapat disimpulkan bahwa penamaan Wonua Sorume yang kemudian berubah menjadi Mekongga berdasarkan legenda terbunuhnya Kongga'aha atau Kongga Owose masih memerlukan telaah lebih lanjut karena belum ditemukan kesesuaian yang kuat antara sumber dan peristiwanya. Legenda terbunuhnya Konga’aha lebih tepat dipandang sebagai epos kepahlawanan Suku Tolaki Mekongga yang berdiri sendiri. Meskipun terdapat variasi teks, legenda ini tetap penting untuk dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya dan identitas nenek moyang.
Tradisi penamaan wilayah dalam budaya Tolaki, baik di Mekongga maupun Konawe, umumnya berkaitan erat dengan kondisi geografis, peristiwa penting dan situasi yang melatarinya. Oleh karena itu, setiap legenda lokal tidak hanya menjadi kisah masa lalu, tetapi juga refleksi kearifan masyarakat dalam memahami alam dan sejarahnya sendiri. C. Menggali Kedalaman Linguistik, Mekongga sebagai Palimpsest Sejarah Terkadang, petunjuk yang paling mendasar dan terverifikasi dalam realitas alam dapat menjadi kunci hermeneutik yang krusial, berpotensi membongkar narasi atau teori populer yang, meskipun tidak berdasar, telah tertanam kuat sebagai kebenaran historis atau mitos. Dalam konteks genealogi sub-etnis Tolaki, salah satu petunjuk nyata tersebut terpatri dalam toponimi dan etimologi kata: Mekongga. Secara kontekstual, istilah "Me-kongga" memiliki dikotomi makna yang kaya, mencerminkan interaksi esensial antara masyarakat purba dengan lingkungan mereka. Secara harfiah kata Mekongga terdiri dari dua makna yang saling berbeda: Pertama, "Me-kongga" berarti "Terdapat Banyak Elang". Merujuk pada suatu lokasi yang menjadi habitat penting bagi populasi Elang (Buteo atau Accipitridae). Ini adalah deskripsi geografis yang lugas dan mengindikasikan signifikansi ekologis tempat tersebut. Kedua, "Me-kongga" berarti "Berburu Elang": Menunjukkan sebuah praktik perilaku masa lampau, menegaskan bahwa Elang adalah unsur penting dalam sistem kepercayaan menjadi budaya pemenuhan ekonomi masyarakat awal namun tidak terdapat fakta dijadikan sumber pangan. Pilihan penamaan ini bukan sekadar kebetulan linguistik, melainkan sebuah penanda historiografi lisan yang mendokumentasikan rute migrasi dan identitas teritorial. D. Polarisasi Genealogi, Dari Andolaki Menuju Dua Kerajaan Kisah tentang perpecahan Suku Tolaki dari permukiman awal mereka di wilayah Andolaki atau Landolaki menjadi kasus studi klasik dalam pembentukan sub-etnis berdasarkan migrasi lingkungan (environmental migration). 1. Tolaki-Konawe: Manifestasi Kemakmuran Sungai Kelompok pertama memilih jalur hidrografis, menelusuri aliran sungai ke arah selatan. Sungai ini diabadikan sebagai Sungai KonaweEha (Konawe-Eha), sebuah epitet yang sarat makna: "Pemberian yang Sangat Baik" (Besar, Tepat, atau Sesuai). Penamaan sungai ini merefleksikan pengakuan mendalam terhadap anugerah fluvial sumber daya air yang subur dan memadai, menjamin keberlanjutan pertanian dan pemukiman. Permukiman yang dibangun di sekitar tepian sungai tersebut, yang diinisiasi oleh salah satu kelompok Tolaki dari pemukiman awal Andolaki, pada akhirnya berevolusi menjadi Kerajaan Konawe, sebuah entitas politik yang ditopang oleh kemakmuran dan aksesibilitas alam dipinggran sungai KonaWe. 2. Tolaki-Mekongga: Epik Pegunungan dan Elang Kelompok kedua memilih rute yang lebih menantang secara orografis, melintasi pegunungan ke arah selatan sedikit ke barat. Toponimi wilayah yang mereka tempuh mencerminkan fokus identitas mereka; Pegunungan Mekongga yang berarti "Terdapat Banyak Elang". Fokus pada Elang simbol kekuatan, ketinggian dan kewaskitaan mengisyaratkan bahwa identitas kelompok ini mungkin lebih terikat pada kekuasaan darat dan spiritualitas puncak, berbeda dengan keterikatan kelompok Konawe pada sumber daya sungai. Mereka kemudian membangun permukiman di sekitar pesisir laut , menandakan adaptasi dan pemanfaatan sumber daya maritim setelah melalui rintangan pegunungan. Dalam kurun waktu, permukiman ini bertransformasi menjadi Kerajaan Mekongga. Rute perjalanan kelompok suku Tolaki tersebut juga disinggung dalam catatan singkat yang menerangkan:
KESIMPULAN Elang, Sungai, dan Bukti yang Tak Terbantahkan Kisah migrasi dan penamaan kedua sub-etnis Tolaki-Konawe (berorientasi sungai pemberian) dan Tolaki-Mekongga (berorientasi pegunungan elang) adalah bukti empiris yang menentang narasi historis yang mungkin mengaburkan asal-usul sejati mereka. Toponimi bukan sekadar nama, melainkan arsip geospasial yang merekam keputusan strategis, nilai-nilai ekologis dan pemaknaan spiritual suatu komunitas. Dalam kasus "Mekongga" jejak elang di ketinggian telah menjadi penanda abadi yang menghubungkan mitos asal-usul dengan realitas geografis, memberikan petunjuk nyata yang jauh lebih andal daripada spekulasi yang tidak berdasar. Oleh: Olank Zakaria |








No comments:
Post a Comment