EVOLUSI GELAR KEKUASAAN DARI SANGIA, MOKOLE HINGGA BOKEO

Olank Zakaria
Ilustrasi "Sangia Ndudu" (Gambar: Koleksi Pribadi)

Rantai Evolusi Sangia, Mokole Hingga Bokeo

Sejarah gelar kekuasaan tradisional tertinggi di Sulawesi Tenggara, khususnya yang terkait dengan suku Tolaki di KonaWe (Unaaha) dan Mekongga (Kolaka) pada dasarnya terdiri dari tiga gelar, gelar tersebut menunjukkan sebuah evolusi yang merefleksikan pergeseran dari kepemimpinan berbasis spiritual-mitologis kemudian bergeser ke sistem pemerintahan tradisional menuju kepemimpinan politik-administratif.

Rantai evolusi gelar ini dapat dilihat dari Sangia, Mokole, hingga Bokeo. Pemimpin yang semula dikenal pada era peradaban awal sebelum terbentuknya kerajaan (Mekongga dan KonaWe) dikenal sebagai "Sangia" kemudian berkembang menjadi "Mokole" di Kerajaan Konawe, dan memiliki persamaan atau varian yang dikenal sebagai "Bokeo" di Kolaka (Kerajaan Mekongga).

Setelah era kepemimpinan Sangia berakhir, kemudian dilanjutkan oleh penguasa yang disebut "Mokole", Mokole adalah gelar tradisional yang merujuk pada raja atau pemimpin utama dalam masyarakat Tolaki di Konawe dan di Kolaka pada masa awal kerajaan Mekongga. Penggunaan gelar ini tidak terbatas hanya pada Konawe dan Mekongga, tetapi juga ditemukan pada masyarakat serumpun seperti Mori, Bungku, dan Moronene.


1. SANGIA Pemimpin Spiritual Teringgi

Sangia adalah pemimpin spiritual tertinggi suku Tolaki, diyakini sebagai ToLahianga (orang dari langit atau kayangan), mengukuhkan status Sangia sebagai sumber kedaulatan yang suci.

Sangia adalah gelar atau sebutan yang berasal dari era paling awal dalam sejarah peradaban masyarakat suku Tolaki dan rumpun suku sekitarnya. Gelar ini memiliki konotasi yang sangat sakral dan mitologis.

Sangia adalah pemimpin teokratis atau spiritual-religius. Dalam banyak versi legenda Tolaki, Sangia adalah tokoh pertama yang membawa sistem pemerintahan, adat dan hukum dasar (Sara) ke bumi, misalnya Larumbalangi yang kemudian bergelar Sangia Ndudu di Mekongga atau Sangia Latoma di KonaWe.

Sangia sering di padankan sebagai "Dewa" merujuk pada roh leluhur atau tokoh pendiri yang dianggap memiliki kekuatan supranatural dan berasal dari kayangan (ToLahianga) dan merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada raja yang telah wafat yang menunjukkan status spiritual leluhur, keturunan mereka kemudian menjadi cikal bakal raja-raja yang memerintah di Kerajaan Mekongga dan Kerajaan KonaWe. Setelah wafat, Sangia diyakini naik kembali ke kayangan dan keturunannya yang melanjutkan kekuasaan politik mulai menggunakan gelar yang lebih membumi yaitu Mokole.


2. MOKOLE Gelar Raja di Konawe dan Wilayah Sekitar

Gelar Mokole secara definitif menjadi gelar raja utama di Kerajaan Konawe setelah era Sangia berakhir. Terdapat beberapa interpretasi mengenai asal kata Mokole; ada yang menyebut berasal dari kata "oleo" yang berarti "matahari" dengan awalan moko- menjadi "moko-óleo" secara harfiah berarti "ingin matahari" yang kemudian disingkat menjadi Mokole. Ini kemudian diartikan sebagai "orang yang seperti matahari" (pemberi cahaya atau kehidupan). Pendapat lain menyebut berasal dari kata "moko-leleu" yang berarti "mampu mengunjungi orang banyak" (pelayan orang banyak) (moko = ingin, leleu = mengunjungi).

Secara struktural, dalam sistem Kerajaan Konawe dan masa awal kerajaan Mekongga, Mokole atau raja utama (setelah era Sangia) memiliki otoritas tertinggi. Mokole adalah Raja yang Mengatur Negeri (Konsolidasi Politik). Gelar Mokole (sering diartikan sebagai "Raja" atau "Yang Seperti Matahari") muncul sebagai bentuk konsolidasi kekuasaan politik di wilayah Konawe ataupun Mekongga dan sekitarnya. Gelar ini menandai bergesernya otoritas dari pemimpin spiritual ke pemimpin sekuler yang berdaulat.

Fakta sejarah, Raja-raja yang memimpin Konawe dikenal menggunakan gelar ini, sering kali baru mendapatkan gelar Sangia setelah meninggal, seperti Mokole Tebawo yang mendapat gelar penghormatan tertinggi sebagai Sangia Inato (1602-1668).

Peran Mokole adalah pemimpin spiritual tertinggi (Lipu) menggantikan peranan dan kedudukan vital Sangia untuk mengatur Atora (undang-undang/peraturan) dan bertanggung jawab bedasarkan nilai-nilai suci dari kepercayaan yg diwariskan Sangia untuk keselamatan serta kemakmuran rakyatnya.

Dominasi Geografis Mokole merupakan gelar yang paling umum dan dikenal secara luas di seluruh wilayah suku Tolaki sebagai sebutan untuk raja atau penguasa, sebelum munculnya spesialisasi gelar lain. Secara struktural, di bawah Mokole terdapat beberapa aparat kerajaan dan Kapita (panglima perang tertinggi).

Dalam konteks Kerajaan Konawe misalnya, meskipun gelar Sangia merujuk pada roh leluhur, nama Latoma memiliki konteks geografis dan politik dalam pengaruh kekuasaan Mokole yang sangat vital di Kerajaan Konawe. Latoma adalah salah satu dari empat Sayap (empat penjuru mata angin) dalam struktur pemerintahan Siwole Mbatohu di Konawe yakni terdiri; dari dua Tambo dan dua Barata.

Latoma dijuluki "Sebuah pintu di mana matahari akan terbenam meninggalkan seluruh kerajaan" (Tambo Tepuliano Oleo), menjadikannya sebagai Gerbang Barat Konawe yang penting secara ekonomi dan militer. Pemimpin wilayah Latoma bergelar Sabandara dan termasuk dalam kelompok "Tolu Benggi Pono" (tiga tempayan penuh), yaitu kelompok bangsawan pewaris tahta kerajaan Konawe. Hal ini menunjukkan bahwa figur yang terkait dengan Latoma memegang peran kunci dalam keberlangsungan dan legitimasi gelar Mokole Konawe.

Hubungan antara Kerajaan Konawe (Unaaha) dan Kerajaan Mekongga (Kolaka) telah terjalin ribuan tahun dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan diantara keduanya, baik hubungan politik maupun hubungan kekerabatan, namun terjadinya pemisahan dua sub-etnis suku Tolaki tersebut menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi variasi dan hierarki gelar termasuk beberapa penyebutan istilah dan bahasa. Hubungan politik dan kekerabatan ini antara lain :

Silsilah: Kedua kerajaan ini memiliki akar budaya yang sangat dekat, keduanya berasal dari suku Tolaki. Terkadang, terjadi hubungan perkawinan antar bangsawan dari kedua kerajaan yang dapat memengaruhi penetapan gelar dan pengakuan otoritas.

Pengaruh Timbal Balik: Gelar Bokeo yang menjadi gelar utama di Mekongga terkadang juga digunakan oleh bangsawan senior di Konawe, seperti di wilayah Abuki yang menunjukkan adanya transfer pengaruh politik dan sosial.


3. Pergeseran Mokole Menjadi BOKEO di Mekongga

Di wilayah Mekongga (Kolaka) pada masa awal kerajaan, gelar untuk raja utama adalah Mokole. Meskipun Mokole di Konawe dan sekarang Bokeo di Mekongga sama-sama merujuk pada raja, gelar Bokeo secara khusus digunakan di Kerajaan Mekongga.

Struktur Pemerintahan dalam Kerajaan Mekongga, pemimpin tertinggi disebut Raja atau Bokeo atau kadang disebut Mokole Owose (Raja Agung). Di bawah Bokeo, terdapat wilayah-wilayah yang dipimpin oleh Mokole (kepala wilayah/distrik) atau Kapala/Toonomotuo (pemimpin adat atau tokoh sesepuh adat) yang disebut "Pitu Tōno Motuo" (Tujuh Orang Tua atau Tujuh Sesepuh Pemimpin Adat).

Penggunaan kedua istilah (Mokole dan Bokeo) dalam konteks struktur Kerajaan Mekongga menunjukkan adanya pergeseran hierarki:

Bokeo: Adalah Raja Utama atau penguasa pusat kerajaan. Pemimpin politik dan militer. Berfungsi sebagai pembuat undang-undang (Atora) dan penentu kebijakan perang serta hubungan luar negeri Antar Kerajaan.

Mokole: Adalah Pemimpin daerah atau distrik di bawah Raja/Bokeo. sebagai pemimpin spiritual (lipu) dan penjaga negeri (bende wonua) dalam wilayah-wilayah kerajaan. Mokole bertanggung jawab atas ritual adat, terutama yang berkaitan dengan keselamatan penduduk yang tercakup dalam wilahnya, pertanian dan tradisi sosial (sosiocultural) lainnya.

Dokumen sejarah Kerajaan Mekongga menyebutkan beberapa raja bergelar Bokeo, seperti Bokeo Laduma pada tahun 1697 (setelah wafat bergelar Sangia NIbandera) dan Bokeo Latambaga (raja terakhir). Bahkan, gelar bangsawan tertinggi di wilayah Abuki (Kerajaan Konawe) pada masanya juga pernah disebut Bokeo. Ini menunjukkan bahwa Bokeo adalah gelar yang memiliki legitimasi.

Fakta Sejarah, perbedaan gelar ini merupakan variasi geografis dalam tradisi suku Tolaki. Mokole dominan di Konawe, sedangkan Bokeo dominan di Mekongga (Kolaka). Mokole di Konawe maupun Bokeo di Mekongga memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai pemimpin tertinggi yang berdaulat dalam wilayah kerajaannya.

Perubahan dalam struktur gelar tersebut khususnya di dalam struktur kerajaan Mekongga dipengaruhi oleh politik kolonial Belanda. Misalnya, pada tahun 1933, Belanda mengubah struktur pemerintahan distrik di Mekongga menjadi tiga jabatan utama: Bokeo, Kapita dan Sapati. Hal ini menunjukkan pengakuan formal Belanda terhadap gelar Bokeo sebagai otoritas tertinggi lokal.

Secara ringkas, Mokole adalah istilah umum untuk "Raja" di kalangan suku Tolaki, sementara Bokeo adalah gelar spesifik yang digunakan oleh Raja Utama di Kerajaan Mekongga (Kolaka) sekaligus menjadi pembeda fungsional Mokole yang menjadi kepala wilayah di bawahnya.

Dokumen kolonial Belanda pada awal abad ke-20 menegaskan hierarki ini di wilayah Kolaka (Mekongga). Pemerintah Hindia Belanda mengakui Bokeo sebagai otoritas sentral yang setara dengan Raja atau Opu di kerajaan lain.

Evolusi dari Sangia ke Mokole dan kemudian Bokeo menunjukkan pergeseran kekuasaan dari dimensi sakral-mitologis ke dimensi politik-teritorial. Sangia adalah akar spiritual, Mokole adalah identitas Raja umum di Tolaki, dan Bokeo adalah puncak spesialisasi gelar tertinggi di kerajaan maritim Mekongga.

Selanjutnya pada masa Transisi Pemerintah Kolonial, Belanda mengakui Bokeo hanya sebagai kepala pemerintahan di tingkat distrik, yang secara efektif mengikis kedaulatan penuh Bokeo. Bokeo Latambaga memerintah pada masa transisi ini, di mana kekuasaan adat mulai bergeser di bawah kontrol Controleur Belanda.

Setelah masa pemerintahan Bokeo Latambaga tahun (1906-1932) dilanjutkan oleh Bokeo-Bokeo yang lain, seperti Bokeo Indumo (1932-1945) yang menjabat hingga era kemerdekaan Indonesia.


Transformasi Pasca-Kemerdekaan

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, sistem kerajaan tradisional secara bertahap dihapuskan atau diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan Republik.

Peleburan ke Struktur Negara: Wilayah kekuasaan Mokole (Konawe) dan Bokeo (Mekongga) diubah menjadi wilayah administratif Kabupaten. Raja terakhir (seperti Bokeo Latambaga di Mekongga) tidak lagi memiliki kekuasaan eksekutif, tetapi perannya digantikan oleh Bupati.

Pelestarian Fungsi Adat: Gelar Mokole dan Bokeo kini dipertahankan dan dihidupkan kembali sebagai gelar kehormatan adat oleh "Dewan Adat" atau Lembaga Adat Tolaki. Tokoh-tokoh yang diberi gelar ini (seringkali keturunan raja terdahulu) berperan dalam melestarikan budaya, hukum adat, dan menjadi penasihat dalam isu-isu sosial.

Identitas Regional: Kedua gelar tersebut menjadi simbol identitas regional yang kuat bagi masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara, mewakili warisan sejarah kerajaan yang berdaulat.


Olank Zakaria, 2025

Share:

No comments:

Post a Comment

Popular Posts

WONUA TOLAKI MEKONGGA

Informasi Terverifikasi mengenai Budaya dan Tradisi Lokal, Bahasa Daerah dan Seputar Sejarah Tolaki Sulawesi Tenggara

Tentang Saya

My photo
BUDAYA ADALAH IDENTITAS DIRI

Ikuti Blog

Recent Posts