TAB MENU

TARI PERANG (UMOARA)

Kampfspiele in Kopfjäger-Tracht, Kolaka in Mekongga. Sumber: Elbert, J. Die Sunda-Expedition des Vereins für Geographie 1911 (Koleksi Pribadi)

SUNGAI KONAWE'EHA

Der Konaweha-Fluɓ bei Usambalu (Puu Sambalu). Sumber: Reisen In Celebes-Erster Band Oleh Paul Und Fritz Sarasin, 1905 (Koleksi Pribadi)

zZasqs

PANTAI KOLAKA

Senkungsstrand bei Kolaka. Sumber: Reisen In Celebes-Erster Band (By Paul Und Fritz Sarasin, 1905) (Koleksi Pribadi)

LEMBAH SIMBUNE

Das Simbune-Tal von Tinondo-Rücken gesehen. Sumber: Reisen In Celebes-Erster Band (By Paul Und Fritz Sarasin, 1905) (Koleksi Pribadi)

ORANG TOKEA

Tokea-Mann Und Tokea-Knabe. Sumber: Reisen In Celebes-Erster Band (By Paul Und Fritz Sarasin, 1905) (Koleksi Pribadi)

Mekongga Dalam Mitos Kongga'aha


Das Simbune-Tal, von Tinondo-Röcken aus gesehen
(Lembah Simbune dilihat dari Batuan Tinondo)

Sumber Sejarah

Peristiwa masa lalu pada beberapa cerita rakyat yang masih dilestarikan hingga saat ini diyakini sebagai bentuk apresiasi terhadap nilai-nilai budaya lokal, salah satunya dengan merangkum beberapa cerita baik berupa teks tertulis maupun tradisi lisan yang diceritakan secara turun temurun.
Sejarah peradaban manusia sebagian terungkap melalui penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada dan bukti-bukti pendukung. Penelitian sejarah adalah tindakan mempelajari dan menelusuri peristiwa masa lalu untuk memperoleh informasi, pengetahuan, pemahaman, dan makna dari peristiwa masa lalu secara sistematis.

Catatan sejarah peradaban suku Tolaki di wilayah kerajaan Mekongga bernama ToMekongga telah banyak dimuat, baik dalam bentuk cetak maupun digital di situs-situs yang beredar di berbagai jejaring sosial. Pencatatan sejarah tersebut ada yang dibuat secara tradisional berdasarkan cerita rakyat dan ada pula yang berdasarkan opini dengan mengabaikan pola heuristik dan ada pula yang melalui penelitian ilmiah dan akademis secara komprehensif.

Melalui cerita-cerita rakyat yang masih dilestarikan, beberapa di antaranya menjadi sumber dan bahan penulisan sejarah. Penulisan sejarah khusus tentang peradaban suku Tolaki di Mekongga pada umumnya dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

Pertama, dilakukan secara heuristik, yaitu penelitian sejarah melalui penelusuran untuk memperoleh sebanyak-banyaknya sumber dan bukti pendukung berupa sumber tertulis dan sumber material berupa benda. Sumber penulisan ini diperoleh dari tulisan dan catatan yang dibuat oleh orang-orang yang terlibat atau pelaku dan saksi peristiwa sejarah diantaranya diperoleh dari catatan orang-orang Eropa yang pernah melakukan perjalanan pada masa lampau di daerah ini dan beberapa catatan sejarah kerajaan-kerajaan sekitar yang telah mengenal budaya aksara, karena suku Tolaki dan beberapa suku lain di nusantara ini tidak memiliki budaya aksara. Adapun sumber benda diperoleh dari gua-gua purbakala berupa tulang, batu, kayu dan sebagainya; dan beberapa peninggalan budaya masa lalu yang berbahan dasar gerabah, keramik serta beberapa perkakas berbahan tembaga dan kuningan.

Kedua, berdasarkan sumber lisan primer, yaitu sumber lisan yang berasal dari kesaksian langsung para pelaku atau saksi mata terhadap peristiwa sejarah. Sumber lisan primer adalah sumber asli dan autentik yang dapat dijadikan bukti langsung terjadinya peristiwa sejarah. Sumber lisan primer diperoleh dari cerita dan dongeng yang berkembang di masyarakat dan diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Cerita rakyat biasanya memuat asal-usul, legenda, mitos, dongeng, atau hikayat yang berkaitan dengan peristiwa sejarah dengan latar belakang geografis.

Ketiga, berdasarkan sumber lisan sekunder, yaitu sumber lisan yang diperoleh dari penafsiran atau analisis terhadap sumber lisan primer atau sumber lainnya. Sumber lisan sekunder merupakan sumber turunan dan tidak autentik yang dapat dijadikan referensi tambahan terhadap peristiwa sejarah.


Sinopsis Asal Usul Mekongga

A. Kerajaan Mekongga terbentuk

Catatan mengenai sejarah terbentuknya kerajaan Mekongga yang beredar saat ini merupakan hasil penafsiran dari sumber lisan primer, sumber lisan sekunder dan beberapa sumber geografis. Sumber-sumber sejarah tersebut masih dilestarikan oleh beberapa penutur sejarah secara turun temurun. Bentuk bercerita ini terdiri dari beberapa jenis yang sudah ada sejak lama, masyarakat Tolaki menyebutnya nango, taenango, tula-tula dan anggo.

Kelompok penutur sebagai narasumber ini disebut sumber lisan primer. Sumber yang berasal dari luar kelompok penutur asli bahasa Tolaki disebut sumber lisan sekunder, sedangkan sumber geografis adalah sumber yang berasal dari alam, seperti; tanah merah di Pomalaa, tanah merah di Pondidaha, Gunung Mekongga, sungai Konaweha, sungai Sabilambo dan lain sebagainya.

Dalam catatan sejarah saat ini ditemukan beberapa perbedaan, sehingga sangat diperlukan tidak hanya menggunakan sumber lisan saja, namun juga penelitian yang kompleks untuk menghindari perbedaan yang dapat menjadi kekhawatiran atas ketidakjelasan sejarah itu sendiri sebagai warisan bagi generasi mendatang. Perbedaan naskah sejarah yang beredar saat ini antara lain:

a. Dalam salah satu kisah, LaRumbalangi adalah keturunan dewa dari kahyangan yang turun di Kolumba (daerah hulu sungai Balandete) pada akhir abad ke-10 dan kemudian menjadi Raja Mekongga Pertama yang bergelar "Sangia Ndudu" .

b. Dalam catatan lain disebutkan bahwa LaRumbalangi berasal dari sebuah negeri di bagian utara Mekongga (tanah alau) dengan seorang wanita bernama WeKoila yang dikenal juga dengan nama WeTenrirawe.

Berdasarkan perbedaan catatan sejarah diatas membuat hatiku bingung, gundah gulana, merana sepanjang masaaaaaa........
mekondi-kondi ulunggu mombikiri, bage-bageno tōno ari "alau" toreano ta'awu, ro ongo mekaingge doworo i wuta Mekongga, wuta ndolaki wuta Mokole wuta pinerahi-rahi wodo oooo.....

Sejarah peradaban Tolaki Mekongga masa lalu tidak lepas dari sejarah perjalanan awal terbentuknya suku Tolaki yang berasal dari kelompok suku di wilayah Sulawesi Tengah berdasarkan pendekatan fisik, budaya, dan bahasa. Salah satu kesamaan budaya dan bahasa tersebut adalah istilah “raja” dalam bahasa Mekongga disebut Mokole dan dalam bahasa Mori disebut juga Mokole.

Pendekatan historis ini juga diakui oleh sebagian orang Eropa dalam studi singkat yang tercatat dalam sejarah perjalanan mereka. Begitu pula asal muasal nenek moyang suku Tolaki telah diteliti secara ilmiah oleh Abdul Rauf Tarimana yang merujuk pada suatu daerah di Sulawesi Tengah. Beliau merupakan Guru Besar Antropologi terkemuka di Indonesia dan salah satu yang terbaik di bidangnya yang berasal dari Pehanggo, Kecamatan Mowewe Utara. Kolaka (sekarang Kabupaten Kolaka Timur).

Dalam bahasa Tolaki, baik Tolaki di Mekongga (ToMekongga) maupun Tolaki di KonaWe (ToKonaWe) tidak mengenal kata “alau” sehingga dapat dipastikan bahwa kisah (B) di atas berasal dari sumber lisan sekunder yaitu sumber cerita yang tidak asli dan tidak berasal dari suku asli Tolaki. Berdasarkan hal tersebut telah dijelaskan secara singkat dalam artikel “Bukti Sejarah yang Fatal” tentang adanya keinginan suatu kelompok atau orang tertentu dengan sengaja ingin menjadi bagian dari suatu peristiwa sejarah.

B. Peradaban dan Asal Usul Nama Mekongga

Sebelum terbunuhnya konga'aha atau elang raksasa, wilayah kerajaan Mekongga disebut Wonua Sorume yang artinya daerah anggrek, yakni daerah atau kawasan yang banyak terdapat tanaman jenis anggrek.

Suku Tolaki yang baru migrasi ke daerah ini menjulukinya Wonua sorume. Mengenai julukan suatu daerah atau wonua, secara etimologi suku Tolaki diartikan sebagai sesuatu yang meliputi seluruh wilayah yang bersangkutan dan bukan merupakan nama suatu tempat. Misalnya Wonua Ndolaki, wonua Ndolaki berarti wilayah suku Tolaki yaitu wilayah yang meliputi kekuasaan suku Tolaki secara keseluruhan (KonaWe, Kendari, KonaWe Utara, KonaWe Selatan, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur) dan tidak ada nama tempat disebutkan.

Pada masa awal kedatangan di daerah yang berjuluk wonua sorume, Suku Tolaki membentuk daerah pemukiman, daerah pemukiman tersebut terdiri dari : Tobu, Napo dan Lipu.

Tobu atau oTobu merupakan kawasan pemukiman (kampung) suku Tolaki yang dihuni oleh keluarga bangsawan (anakia), pemimpin adat (tolea dan pabitara), ksatria (tadu dan tamalaki) dan tokoh masyarakat lainnya.
Permukiman Tobu dipimpin oleh seorang yang lebih tua dan dihormati di kalangan masyarakat yang tinggal disana bernama Pū Tobu.

Napo atau oNapo merupakan kawasan pemukiman suku Tolaki yang terdiri dari lapisan masyarakat biasa (tōno nggapa) dan keturunan budak (ata). Permukiman Napo merupakan kawasan pertanian dan perkebunan sebagai kawasan penyangga ekonomi masyarakat yang tinggal di Tobu, pada umumnya Napo dijadikan sebagai lumbung pangan. Permukiman Napo biasanya dikelilingi oleh pagar yang disebut (wala napo) untuk mencegah hama atau hewan perusak tanaman. Daerah bagian dalam disebut une napo, sedangkan masyarakat yang mendiaminya disebut ToUne Napo yang artinya orang-orang dari kalangan biasa dan kasta rendah.

Lipu atau oLipu merupakan kawasan pemukiman suku Tolaki yang di dalamnya terdapat tempat ritual peribadatan (rumah ibadah) yang disebut peOmbua. Pemukiman atau kawasan Lipu ini dihuni oleh keluarga dari para mbuakoy (pendeta dan tabib) dan beberapa komunitas lainnya.
Pelaksanaan ritual keagamaan suku Tolaki dilakukan pada saat terjadi wabah penyakit, serangan hama tanaman, persembahan kepada Sang Pencipta Yang Maha Esa, persiapan perang dan lain-lain, hal ini dilakukan sebelum datangnya peradaban Islam. Cara yang dilakukan secara tradisional sebagai tradisi masa lalu dalam melakukan pengobatan dan doa permohonan keselamatan, kesembuhan dan penyucian saat ini masih dilakukan di antaranya mowoway dan mosehe melalui cara yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam tentunya.


Fakta Keberadaan Kongga'aha

A. Berdasarkan Legenda, mitos dan dongeng

Fenomena asal usul kata “MEKONGGA” yang kemudian berkembang menjadi kawasan KERAJAAN MEKONGGA konon bermula dari kisah terbunuhnya seekor burung elang raksasa (dalam bahasa Tolaki disebut konngga’aha). Kisah ini mempunyai dua teks yang berbeda, antara lain:

a. Kongga'aha dibunuh oleh Tasahea atas perintah LaRumbalangi;
b. Dalam catatan lain, Kongga'aha dibunuh langsung oleh LaRumbalangi.

Dari beberapa teks catatan sejarah yang berbeda di atas menjadi bukti bahwa belum ada indikator akurat mengenai catatan peradaban suku Tolaki khususnya di wilayah Mekongga. Berdasarkan hal tersebut, diharapkan pihak-pihak terkait bersama aparat kerajaan Mekongga dapat menjadikan hal tersebut sebagai hal yang sangat mendasar untuk dilakukan penelitian lebih lanjut agar memperoleh acuan sejarah utama untuk menghindari penafsiran-penafsiran yang tidak autentik.

Kerajaan Mekongga yang ada saat ini merupakan sebuah legitimasi yang diharapkan mampu menjaga adat, budaya dan tradisi suku Tolaki di Mekongga secara otentik dan lestari selain itu juga melestarikannya melalui pengenalan kepada generasi muda yang mulai terdegradasi pemahamannya terhadap budaya lokal akibat pengaruh budaya luar.

Lantas apa yang telah dilakukan pembesar kerajaan yang terhormat terhadap budaya asli suku Tolaki di Mekongga saat ini?
Apakah lambang kebesaran ini digunakan untuk meningkatkan status sosial semata?

Menurut saya, sebaiknya lambang legitimasi (BOKEO) itu dihilangkan saja, jika tidak membawa kebaikan bagi kemajuan budaya khususnya budaya Tolaki di Mekongga, karena mereka tak ubahnya seperti pendongeng dan pembohong ulung, hal ini dibuktikan dengan pernyataan beberapa tokoh masyarakat yang mengatakan bahwa Mekongga bukanlah orang Tolaki melainkan Mekongga.

Hai LaBio.....!
Jika belum paham, lebih baik diam saja atau belajar dari sejarah asal muasal nenek moyang kalian yang datang dari kayangan. Kemungkinan besar ini adalah sekelompok orang yang bersekongkol dengan orang-orang dari negeri Alau yang ingin memutarbalikkan fakta sejarah yang sebenarnya. Alih-alih merawat, mereka malah mengubah struktur kerajaan dengan memberikan jabatan yang belum pernah ada dalam struktur kerajaan Mekongga sebelumnya, sangat disayangkan.

Satu lagi yang ingin saya sampaikan bahwa Bokeo Mekongga ke-13 atau Raja Mekongga saat ini hendaknya menjadi simbol persatuan, bukan simbol perpecahan antar golongan, apalagi bagi putra-putra suku asli Tolaki di Mekongga yang mempunyai permasalahan di antara mereka. Saran saya kepada Bokeo, jika Bokeo tidak bisa menyikapi sejumlah permasalahan secara adil dan bijaksana, lebih baik mundur dan menyerahkan jabatan kepada orang yang lebih layak dan mampu. iyamu pepasaako māmā, auto tetutuara.

B. Berdasarkan Kajian Ilmiah

Rangkuman cerita asal usul nama Mekongga di atas secara implisit menceritakan bahwa konga'aha memangsa hewan ternak lokal antara lain sapi, kambing bahkan manusia. Dilihat dari bobot mangsanya, diperkirakan rata-rata bobotnya berkisar antara 35-350 kg.

Berdasarkan data empiris hewan purba khususnya elang raksasa, hanya elang Haast yang menyerupai cerita rakyat di atas dan burung ini hidup pada periode kuarter pleistosen ~ 1,8 juta hingga periode Holosen (sekarang) 1400.

Elang Haast atau nama ilmiahnya hieraaetus moorei (sebelumnya harpagornis moorei) merupakan spesies Elang Hieraaetus yang telah punah dan diketahui hanya hidup di pulau selatan Selandia Baru. Elang Haast yang hidup pada masa Holosen memiliki ukuran yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan ukuran pada masa Pleistosen, di mana elang Haast yang hidup pada masa 1,8 juta hingga 700 ribu tahun yang lalu berukuran lebih kecil, pembesaran tubuh yang terjadi pada elang Haast kemungkinan besar disebabkan oleh melimpahnya sumber makanan seperti burung raksasa Moa dan tidak adanya predator lain di pulau tersebut.

Elang Haast adalah salah satu burung pemangsa terbesar yang pernah hidup, berat dan ukurannya lebih besar dari burung nasar terbesar yang ada saat ini. Dalam catatan fosil terdapat elang raksasa lainnya yaitu genus Amplibuteo woodwardi, namun ukurannya tidak lebih besar dari Elang Haast. Elang Haast betina diperkirakan berukuran lebih besar dibandingkan elang jantan. Elang Haast betina diperkirakan memiliki berat 10-15 kg, sedangkan jantan mencapai 9-12 kg dan memiliki lebar sayap 2,6 hingga 3 meter, tinggi kepala hingga 1 hingga 1,2 meter, dan panjang paruh hingga ekor hingga menjadi 1,4 meter. .

Dari data ilmiah di atas, berdasarkan bobot burung purba ini, tentu mustahil bagi konga'aha untuk memangsa mangsanya yang jauh lebih berat. Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah burung konga'aha atau elang raksasa yang menjadi pusat asal usul nama "mekongga" yang kemudian berkembang menjadi kerajaan Mekongga hanya hidup dan terbang di atas wilayah kerajaan Mekongga?

Jika jawabannya tidak, tentu saja kisah burung raksasa itu akan menjadi bagian cerita rakyat dari kerajaan-kerajaan di sekitar kerajaan Mekongga antara lain: Konawe, Moronene, Buton dll jika benar-benar terjadi.


Kesimpulan

Berdasarkan legenda, mitos, dongeng dan fakta yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penyebutan asal muasal wonua sorume yang kemudian menjadi wonua mekongga masih diragukan karena sedikit relevansi antara sumber dan kejadiannya. Legenda terbunuhnya Konga'aha merupakan legenda suku Tolaki sebagai kisah kepahlawanan murni atau epos yang berdiri sendiri. Meski saat ini terdapat perbedaan teks, namun legenda tersebut tetap dilestarikan mengingat pentingnya menjaga warisan budaya nenek moyang kita.

Beberapa pendekatan yang melandasi tradisi penyebutan suatu daerah khususnya bagi Suku Tolaki baik di Mekongga maupun KonaWe tidak lepas dari suasana, kondisi geografis dan awal mula terjadinya peristiwa atau kegiatan sebelum melakukan kegiatan lebih lanjut di daerah tersebut, sedangkan legenda lokal pada umumnya adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau di suatu tempat yang telah mempunyai sebutan atau nama.




Oleh: Olank Zakaria

Sumber gambar: Reisen in Celebes - Erster Band, 1905

Senjata Tradisional Khas Tolaki (Mekongga dan Konawe)

Senjata Tajam Khas Tolaki
Gambar: Koleksi Pribadi

"Reise von derMingkoka-Bai nacbKendari, Südost-Celebes (339)"

Die Leute, welche wir in Kolaka sahen, waren meist schwer bewaffnet. Sie führen stets ein großes Schwert (Pade) mit sich, dessen Klinge etwa 60 cm lang und nach vorne zu bis 8 cm breit wird (Fig. 104). Dieses wird gewöhnlich ohne Scheide in der Hand, meist über die Schulter gelehnt, getragen. Wenn es, wie dies bei längeren Märschen geschieht, umgehängt werden soll, so wird als Scheide ein dünner Bambus gebraucht, welcher einseitig eine Rinne zur Aufnahme der Schneide aufweist oder auch ein Futteral aus Palmblattscheide , welches die ganze Klinge umschließt. Der gebogene Griff besteht aus Holz und Büffelhorn, ist manchmal fein poliert und groß genug, um mit beiden Händen angefaßt zu werden. Am Ende des Griffes ist bei neugefertigten Schwertern ein kleines, flachkegelförmiges Holzstück eingezapft und festgebunden, welches später durch eine gestielte Holzkugel ersetzt wird, in welche Menschenhaare, büschelweise verteilt, eingepflanzt sind. Neben dem Schwert fehlt natürlich die Lanze, mit oder ohne Widerhaken, nicht und ein Haumesser (tadu), das zumHolzschlagen und anderen häuslichen Arbeiten dient.

"Perjalanan dari Mekongga ke Kendari Sulawesi Tenggara (339)"

Orang-orang yang kami lihat di Kolaka kebanyakan bersenjata lengkap. Mereka selalu membawa pedang besar (pade), bilah yang panjangnya sekitar 60 cm dan lebar hingga 8 cm ke arah depan (Gbr. 104 terlampir diatas). Ini biasanya dikenakan tanpa sarung di tangan, biasanya disandarkan di atas bahu. Jika akan digantungkan di sekeliling badan (disampirkan), seperti pada pawai (alat-alat kerajaan) yang lebih panjang, digunakan sarung bambu tipis, yang memiliki lekukan di satu sisi untuk menampung bilah, atau wadah yang terbuat dari daun lontar yang membungkus seluruh bilah. Gagangnya yang melengkung terbuat dari kayu dan tanduk kerbau, terkadang dipoles halus dan cukup besar untuk digenggam dengan kedua tangan. Di ujung gagang pedang yang baru diproduksi, sepotong kayu kecil berbentuk kerucut datar dilumasi dan diikat, yang kemudian diganti dengan bola kayu bergagang, di mana rambut manusia ditanam dalam jumbai.¹
Selain pedang, tentunya ada tombak, dengan atau tanpa duri, dan kujang (tadu) yang digunakan untuk memotong kayu dan pekerjaan rumah tangga lainnya.²
  • Sumber: "Raisen in Celebes (Halaman 339)

Pada terjemahan di atas mengacu pada gambar di atas dijelaskan oleh Sarasin bahwa itu adalah sebuah “pade”, tanpa mengurangi pemahaman saudara Sarasin yang telah memberikan sedikit catatan tersendiri dengan banyak memberikan tafsir pribadi yang tidak sesuai dengan kenyataan khususnya tentang Tolaki Mekongga dalam perjalanan singkat tahun 1903. Kesalahan tersebut dapat terjadi karena terbatasnya pemahaman bahasa daerah dalam berkomunikasi sehingga dalam menafsirkan sesuatu kurang tepat.

¹ Mengenai senjata tradisional Tolaki, baik Tolaki Mekongga maupun Tolaki Konawe memiliki beberapa jenis senjata tradisional dengan bentuk dan peruntukannya sama. Sehubungan dengan itu, perlu diklarifikasi beberapa pemahaman yang salah dalam catatan saudara Sarasin tersebut.

Bahwa yang dimaksud pada gambar tersebut sebenarnya bukanlah “pade” melainkan “taáwu” (orang Sulawesi Selatan menyebutnya sinangké). Pade dalam bahasa Tolaki berarti parang, pade atau parang dalam masyarakat Tolaki adalah sebutan untuk berbagai jenis parang. Pade adalah alat yang digunakan untuk menunjang pekerjaan sehari-hari dan bukan bagian dari senjata tradisional yang digunakan untuk melakukan peperangan atau berperang, akan tetapi “Taáwu” dan “Pade” merupakan senjata tajam khas Tolaki yang masing-masing mempunyai fungsi sosial berbeda-beda.

Secara fisik, taáwu yang digunakan sebagai alat perang memiliki panjang bilah bervariasi antara 70cm - 100cm sedangkan pade atau parang ukurannya lebih gemuk dan pendek dari taáwu digunakan sebagai alat sehari-hari untuk menunjang pekerjaan rumah tangga, seperti memotong kayu dan lain-lain.

Ciri khas taáwu terletak pada gagangnya, taáwu yang disimpan sebagai senjata yang disebut podagai raha (Mekongga) atau podagai laika (KonaWe) digunakan sebagai alat pertahanan untuk membela diri biasanya tidak ditanami rambut manusia pada gagangnya, sedangkan taáwu yang digunakan khusus untuk perang biasanya ditanami rambut musuh yang terbunuh dalam pengayauan.

Suku Tolaki di Mekongga (ToMekongga) mempunyai berbagai jenis pade atau parang selain taáwu, antara lain: pade nggalauti, pade sondi, pade kandao, pade banggu-banggu dsb.

Selain pade dan taáwu, suku Tolaki di Mekongga juga memiliki senjata tajam berukuran kecil yang disebut piso (oPiso) atau pisau. Sama halnya dengan pade, peralatan pisau terdiri dari dua jenis yaitu piso (oPiso) dan golo-golo (badik) keduanya mempunyai fungsi yang berbeda, piso digunakan sebagai alat sehari-hari untuk menunjang pekerjaan rumah tangga sedangkan golo-golo digunakan sebagai senjata dalam perkelahian atau duel.

² Kujang (Tadu) yang dimaksud oleh Sarasin (gambar tidak terlampir) kemungkinan adalah parang jenis pade sondi yang biasa digunakan oleh Tadu (prajurit, tokoh, pelindung kerajaan) dan masyarakat pada umumnya dalam melakukan kegiatan berkebun, mengumpulkan hasil hutan dan lain-lain.

Adapun yang dimaksud tombak dalam catatan di atas, orang Tolaki menyebutnya Karada. Bentuk karada tersebut menyerupai tombak pada umumnya memiliki gagang rotan atau kayu dengan panjang 1,5 meter hingga 2,5 meter.



Ditulis dan Diterjemahkan oleh:
Olank Zakaria 

Prajurit Kerajaan dan Golongan Ksatria Mekongga

Tomekonka-Kriegr in Kolaka
(Prajurit ToMekongga di Kolaka)



Tomekonka-Krieger in Kolaka

"Reise von derMingkoka-Bai nacbKendari, Südost-Celebes"

Die Schilde der Tome-konka sowohl, alsder weiter  ostwärts wohnendenStämme bis zur Kendari-Bai hin, sind von etwas anderer Art, als wir sie bisher in Celebes ge-sehen. Sie bestehen aus Holz, sind 1,20 m hoch, etwa 20 cm breit und zeigen in der Mitte einen vor-springenden Buckel oder Kegel. Der Schildrand ist ringsum mit büschelweise  angeordneten  Menschen-haaren besetzt ; auch der Buckel trägt häufig ein solches Haarbüschel.

Als Panzer sahen wir in Kolaka blos die uns vom Norden der Halbinsel schon bekannten,  aus Gn et um fasern gefloch-tcnen, ärmellosen Jacken, wie auch der Tomekonka-Krieger auf dem beigegebenen, nach einer Photographie hergestellten Bilde eine tragt. Mützen, aus Rotang  geflochten, vollenden die Aus-rüstung.

Die photographische Arbeit ging hier im allgemeinen ohne große Schwierigkeit vor sich. Ein einziges Mal, bei Aufnahme eines Gruppenbildes, begann einer erst wie zum Scherz den Kriegs-tanz zu tanzen, wobei er sich aber mehr und mehr aufregte und zuletzt drohend gegen unsere zuschauenden Leute vorging, so daß wir sie schleunigst wegbefehlen mußten, worauf er sich nach und nach wieder beruhigte, eine Zeitlang noch schwer keuchend.

Prajurit ToMekongga di Kolaka

"Perjalanan dari Mekongga ke Kendari Sulawesi Tenggara"
 
Perisai ToMekongga, serta suku-suku yang lebih jauh ke timur sejauh Teluk Kendari, agak berbeda jenisnya dari apa yang selama ini kita lihat di Sulawesi. Terbuat dari kayu, tingginya 1,20 m, lebar sekitar 20 cm dan memperlihatkan punuk atau kerucut yang menonjol di tengahnya. Tepi perisai di sekelilingnya ditutupi dengan rambut manusia yang tersusun dalam jumbai; punuk juga sering memakai seberkas rambut seperti itu.
 
Satu-satunya baju besi yang kami lihat di Kolaka adalah jaket tanpa lengan yang ditenun dari serat melinjo, yang sudah kami kenal dari utara semenanjung, seperti prajurit ToMekongga pada gambar terlampir (gambar atas), dibuat dari foto, memakai topi yang dikepang terbuat dari rotan melengkapi pakaiannya.
 
Pekerjaan fotografi di sini umumnya berjalan tanpa kesulitan besar. Hanya sekali, ketika berfoto bersama, salah satu dari mereka mulai menari tarian perang (gambar tari perang) seolah-olah untuk lelucon, tetapi dia semakin bersemangat dan akhirnya bertindak mengancam penonton (kami), sehingga kami harus menyuruh mereka pergi secepat mungkin. lalu mereka pergi dan setelah tenang, masih terengah-engah untuk sementara waktu.

  • Sumber: Reisen in Celebes - Erster Band, 1905 

 

Tari perang Mekongga di Kolaka


Golongan Ksatria ToMekongga

Awal terbentuknya pasukan kerajaan Mekongga tidak diketahui secara pasti. Dalam catatan sejarah baik berupa naskah tertulis maupun melalui tradisi pengisahan tidak ditemukan satu pun petunjuk mengenai hal tersebut. Begitu pula halnya melalui pendekatan sejarah peradaban suku-suku yang ada di pulau Sulawesi tidak satu pun memiliki sejarah awal mula terbentuknya pasukan kerajaan.

Kehadiran dan keterlibatan pasukan kerajaan hanya diperoleh dari peristiwa dan kejadian sejarah masa lampau oleh suku Tolaki disebut "mongaé". Mongaé atau mengayau adalah perang atau peperangan disertai pemenggalan kepala musuh. Peristiwa mongaé tersebut diperoleh dari kisah peperangan antar kelompok suku-suku yang ada di Sulawesi tenggara dan antar kerajaan. Peristiwa peperangan suku Tolaki telah dilakukan sejak masa awal migrasi terhadap suku-suku pribumi antara lain: ToKia (ToKea), ToAere dan ToMoronene.

Pria Dewasa Tokia (kanan) dan Anak-anak Tokia (kiri)

Pasukan kerajaan dalam struktur kerajaan Mekongga juga tidak dijelaskan secara gamblang mengenai unsur-unsur dan pimpinan yang terdapat dalam pasukan kerajaan tersebut, kendati demikian dalam strata sosial suku Tolaki dikenal dua golongan masyarakat sebagai pelindung kerajaan yaitu Tadu dan Tamalaki.

Tadu adalah golongan ksatria yaitu golongan orang-orang yang terdiri dari orang-orang tua atau sesepuh yang memiliki kesaktian dan mahir beladiri disebut kondau yaitu bela diri sejenis silat. Setiap tadu sering juga disebut "langgai gēgē" atau laki-laki yang disegani karena memiliki kesaktian. Sedangkan Tamalaki adalah golongan ksatria yang dikenal sebagai prajurit kerajaan, kebanyakan dari mereka terdiri dari pemuda-pemuda yang telah berikrar untuk mengorbankan hidupnya demi kepentingan kerajaan.



Diterjemahkan dan Ditulis Oleh:
Olank Zakaria

Sumber gambar: Reisen in Celebes - Erster Band, 1905

Rumah Suku Tolaki di Mekongga Tempo Dulu


Huis van Kolaka in het midden de afvoerleiding van de w.c
Gambar: Tropen Museum
 

Pada gambar tersebut ditulis keterangan artinya "Rumah Kolaka di tengah pipa pembuangan w.c". Gambar atau foto tersebut adalah bagian belakang salah satu rumah masyarakat Tolaki di Mekongga tempo dulu tidak dijelaskan lokasi tempat dimana gambar tersebut diambil.  Tampak terlihat dua tingkat talang pembuangan terdiri dari pelepah daun pinang (talang atas) dan talang bawah adalah kulit batang/pohon sagu yang telah diambil patinya (dagingnya; isinya).

Beberapa catatan yang ditulis bangsa eropa, baik tentang budaya maupun tentang bahasa khususnya mengenai Tolaki Mekongga terdapat kekeliruan makna, ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain minimnya sumber informasi akibat komunikasi yang terbatas.


 

 

RUMAH ADAT

TOLAKI MEKONGGA

 

 

Photo: Koleksi Pribadi

Paradigma Pilkada Kolaka

ATENSI PEMILIH PASCA DEBAT PUBLIK

KANDIDAT PASLON BUPATI KOLAKA 2018 - 2023





Pada tahap awal pencalonan Paslon Bupati Petahana Ahmad Safei-Jayadin yang didukung sebanyak 10 parpol meyakini perolehan suara mereka pada pemungutan suara Pilkada Kolaka tahun 2018 mencapai 80 persen.

Bukti Sejarah Fatal

FAKTA SEJARAH YANG DIPERTANYAKAN

 

Upaya mengungkap sejarah sebagai sebuah keprihatinan sekaligus kepedulian terhadap perjalanan dan peristiwa masa lalu yang sudah dilakukan baik melalui penelitian singkat, pencarian berbagai informasi dari sumber terpercaya, maupun pendapat rasional beberapa penulis dalam rilis buku adalah upaya berharga yang perlu diapresiasi.

Salah satu bukti aktivitas masa lalu yang merupakan bagian dari fakta sejarah di antaranya telah ditemukan di Sulawesi Tengah berupa patung kepala yang diketahui berasal dari tahun 1 Masehi dan diduga berkaitan dengan sejarah asal usul nenek moyang suku Tolaki Mekongga dan Tolaki Konawe yang mendiami semenanjung tenggara pulau Sulawesi. Bukti fisik ini sebenarnya dapat memberikan sumber daya yang sangat berharga untuk melengkapi catatan yang sudah ada.

Perolehan catatan sejarah berdasarkan pemaparan dari berbagai informan merupakan satu-satunya sumber yang masih berlangsung, hal ini dikarenakan Suku Tolaki Mekongga di Kabupaten Kolaka dan Tolaki Konawe di Kabupaten Konawe belum memiliki budaya literasi. Faktualitas sejarah peradaban suku Tolaki (Mekongga dan Konawe) saat ini masih membutuhkan kajian karena terdapat beberapa perbedaan naskah yang dapat menimbulkan keraguan terhadap fakta sejarah yang sebenarnya, jika terus dibiarkan tentu hal ini bisa menjadi sesuatu yang fatal. Dari catatan yang ada saat ini beberapa di antaranya dinilai sebagai versi individu karena dibuat tanpa dukungan fakta berupa bukti fisik dan hasil penelitian yang memadai.

Selain sumber sejarah diperoleh dari pengisahan atau cerita, sejarah masa lampau juga diperoleh dari narasi karya sastra yaitu seni gubahan menyerupai lagu berciri khas yang telah dikenal sejak lama oleh suku Tolaki sebagai salah satu bentuk tradisi. Menurut Ratna (2005:312), hakikat karya sastra adalah fiksi atau yang lebih sering disebut imajinasi. Imajinasi dalam karya sastra merupakan imajinasi yang didasarkan pada kenyataan.

Dari kedua sumber sejarah tersebut dapat dikatakan bahwa karya sastra lebih konsisten karena ibarat sebuah lagu liriknya dapat dengan mudah dihafal dengan baik dan dilestarikan tanpa adanya perubahan berarti dalam kurun waktu yang lama.

Dalam kaitannya dengan tradisi lisan bercerita, kecenderungan pergeseran nilai-nilai dalam muatan sejarah dapat terjadi secara turun-temurun kapan saja, karena faktor kodrat manusia seperti kelupaan karena penuaan, sentimen yang dapat mempengaruhi arah sejarah, termasuk keinginan pribadi yang disengaja untuk melakukan penambahan dan pengurangan fakta-fakta sejarah agar menjadi bagian dari peristiwa sejarah untuk kepentingan strata sosial pribadi, keluarga, dan kelompoknya sehingga sumber lisan ini sangat memerlukan kajian ilmiah.
Alhasil, akibat dari sejarah tersebut terlihat dari beberapa catatan yang beredar dan menjadi salah satu bentuk konflik di masyarakat karena mengandung naskah yang berbeda-beda, sehingga menimbulkan pertanyaan, MANA YANG BENAR?

Minimnya kajian keilmuan sejarah dan budaya ditambah dengan kurangnya keseriusan pemerintah dan tokoh adat dalam menjaga dan melestarikannya mengakibatkan munculnya berbagai catatan kontra produktif di kalangan masyarakat pada umumnya dalam memaknai beberapa peristiwa sejarah dan budaya daerah ini.

Kurangnya perhatian pemerintah daerah khususnya Kabupaten Kolaka melalui institusi terkait untuk melakukan penelitian atau kajian dalam merangkum catatan sejarah dan peninggalan sejarah menjadi suatu hal yang memprihatinkan mengingat bukti-bukti sejarah yang ada suatu saat bisa saja musnah akibat proses alam atau campur tangan manusia. Salah satu kekhawatiran mendasar adalah belum terungkapnya beberapa bukti sejarah, antara lain cerobong asap raksasa yang dibangun Romusa pada masa penjajahan Jepang dan bangkai pesawat di perairan Tanggetada yang masih menjadi misteri dan belum pernah disebutkan dalam catatan sejarah perjuangan masyarakat Kolaka.

Salah satu yang patut disesali adalah terowongan cerobong raksasa menuju ke laut sudah lama dirusak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, namun pemerintah tidak pernah berniat memperbaikinya agar bisa dijadikan situs perjuangan masyarakat Kolaka.

Bangunan sejarah peninggalan Jepang di Kolaka
Gambar cerobong raksasa yang dibuat romusha pada zaman penjajahan Jepang


Akan halnya dengan situs sejarah, kebudayaan tradisional suku Tolaki di kabupaten Kolaka telah mengalami gradasi penurunan secara tajam, misalnya hasil karya sastra berupa budaya seni tradisional  tula-tula, Nango, Tae Nango dan Anggo kini telah dianggap punah sedangkan yang bertahan hingga saat ini telah mengalami perubahan secara drastis melalui kolaborasi budaya kekinian misalnya tari tradisional lulo yang sudah tidak menggunakan gong sebagai pengiring gerakan tari, kenyataan tersebut merupakan sebuah kemunduran besar terhadap kebudayaan tradisional dikarenakan tidak adanya regulasi yang dibuat secara relevan oleh seluruh stakeholders daerah ini dalam menjaga dan melestarikan khazanah budaya bangsa.

Adapun catatan sejarah perjuangan yang beredar saat ini adalah rangkuman kisah individual yang dibuat untuk kepentingan pribadi sehingga mengabaikan peranan putra-putra pejuang asli Tolaki yang mempunyai peranan penting dalam perjuangan melawan penjajah di tanah Mekongga seperti Konggoasa Latambaga, Latorumo dan masih banyak lagi anak Tolaki yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk mempertahankan kemerdekaan dan membebaskan negerinya dari cengkeraman penjajah namun hanya disinggung sekilas dalam catatan perjuangan masyarakat Kolaka. Berapa banyak dari mereka yang telah berjasa melawan dan menjadi korban pemberontakan gerombolan DI/TII pada kenyataannya mereka telah gugur tanpa termuat dalam catatan sejarah.

Menurut beberapa informasi yang kami dapatkan bahwa beberapa anggota veteran di Kab. Kolaka bukan sebagai pejuang kemerdekaan bahkan di antara mereka diyakini sebagai anggota gerombolan DI/TII.

Sejarah yang fatal.



Oleh:
Olank Zakaria