TAB MENU

SEJARAH SINGKAT SOPURA

AWAL TERBENTUKNYA TANAH LELUHUR DAN BUDAYA DI SOPURA


I. PENDAHULUAN

Kerajaan Mekongga adalah salah satu kerajaan nusantara yang terletak dijazirah Sulawesi bagian Tenggara dengan batas wilayah:

  • Utara berbatasan dengan kerajaan Luwu (Sulawesi Selatan);
  • Timur berbatasan dengan kerajaan Konawe (Sulawesi Tenggara);
  • Selatan berbatasan dengan kerajaan Moronene (Sulawesi Tenggara) dan
  • Barat berbatasan dengan laut teluk Bone.

Wilayah Kerajaan Mekongga meliputi seluruh kabupaten Kolaka (Kolaka, Kolaka Utara dan Kolaka Timur) dengan penduduk pribumi disebut suku Tolaki-Mekongga atau To Mekongga yang artinya orang Tolaki yang tinggal di Mekongga (wilayah kerajaan Mekongga)

Dalam tatanan masyarakat suku Tolaki (KonaWe dan Mekongga) dikenal norma hukum adat yang mengatur hak-hak kehidupan bermasyarakat yang hingga saat ini masih berlaku. Aturan hukum adat yang dijalankan  masyarakat To Mekongga berlaku pula pada masyarakat Tolaki
KonaWe di kerajaan KonaWe dengan penduduk pribumi disebut To KonaWe (Konawe, Kendari, Konawe Selatan dan Konawe Utara) secara historis mempunyai kultur yang sama di mana KALO SARA merupakan norma hukum adat yang sakral dan komprehensif serta dijunjung tinggi dalam segala aspek sosial oleh suku Tolaki dalam mengatur tatanan sosial kemasyarakatan.

Dalam melindungi hak-hak masyarakat, secara tegas norma hukum adat mengatur beberapa hal antara lain:


Waworaha, yaitu tanah tempat tinggal menetap masyarakat suku Tolaki dalam kurun waktu yang lama. Tanah waworaha tersebut relatif luas berdasarkan strata sosial pemilik tanah tersebut.


Walaka, yaitu lokasi atau tanah penggembalaan ternak (peternakan) kerbau dan lain sebagainya. Lokasi peternakan ini terbilang luas dengan batas-batas sesuai ketetapan yang telah ditentukan dalam hukum adat.


Pombahora, yaitu lokasi atau tanah perkebunan masyarakat suku Tolaki yang diolah atau pernah diolah dengan usaha kultivasi bercocok tanam padi ladang dan sebagainya. Lokasi atau tanah tersebut relatif luas, disebabkan akan kebiasaan masyarakat suku Tolaki berkebun berpindah pindah.


Wuta Pinotiso, yaitu wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam untuk dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomis bagi masyarakat, diberikan oleh Bokeo atau Raja baik secara lisan maupun tertulis dengan luas yang telah ditetapkan. Luas lokasi tersebut ditetapkan berdasarkan batas alam (sungai gunung dsb). Penguasaan hak atas tanah tersebut biasanya di bebankan membayar sima atau pajak kepada Bokeo atau raja.

Photo Pribadi 
Bersama Beberapa Ahli Waris "Wuta Pinotiso"

 
II. RIWAYAT SINGKAT

a. Asal Usul Terbentuknya Kampung Sopura
 

Tinjauan kebahasaan kata sopura dalam bahasa Tolaki artinya daerah menempa besi berasal dari kata dasar sopu yang artinya tempa besi. Dalam tata bahasa Tolaki, baik Mekongga maupun KonaWe kata sopura bermakna lebih luas, yakni menunjukkan sebuah lokasi (wilayah dsb) sedangkan kata sopu'a dan posopu'a  hanya menunjukkan sebuah tempat yang artinya usaha menempa besi dan tempat menempa besi.

Kambo (kampung) Sopura  terbentuk atas terbukanya pemukiman yang dihuni etnis Tolaki dari dua kerajaan berbeda yakni Tolaki dari kerajaan
KonaWe (Sampara, Anggaberi, Sanggona dan Latoma) dan Tolaki dari kerajaan Mekongga (Epe dan Wundulako). Suku Tolaki dari kerajaan KonaWe peradabannya sudah maju berdasarkan persebaran penduduk awal yang mendiami dataran di jazirah tenggara pulau Sulawesi, beberapa di antaranya bermigrasi ke kerajaan Mekongga dan melakukan perkawinan silang dengan masyarakat Tolaki Mekongga di Wundulako dan akhirnya membentuk sebuah pemukiman lowland (dataran rendah) di pesisir pantai teluk Mekongga disebut Tepurino dalam bahasa Tolaki Mekongga berarti muara kali.

Keberadaan masyarakat suku Tolaki dari dua kerajaan berbeda tersebut melakukan asimilasi sosial dan budaya serta aktivitas mengolah sumber daya alam yang melimpah antara lain kayu, rotan, perikanan dan lain-lain.


Masyarakat Tepurino yang berasal dari Latoma dan Sanggona (kerajaan KonaWe) dikenal memiliki keahlian khusus secara turun temurun sebagai pandai besi, mereka dapat membuat peralatan-peralatan sederhana yang terbuat dari besi, aktivitas menempa besi tersebut sudah berkembang di kerajaan KonaWe dan hingga saat ini daerah Sanggona tersebut di juluki sebagai wonua mbu sopu  yang artinya kampung para pandai besi.


Keahlian khusus masyarakat Tepurino yang berasal dari Kerajaan
KonaWe khususnya Sanggona dalam membuat senjata tradisional dan peralatan sederhana yang terbuat dari besi mulai tersebar di kerajaan Mekongga. Kegiatan menempa besi tersebut merupakan sebuah fenomena yang tidak pernah ada sebelumnya di kerajaan Mekongga, sehingga kampung Tepurino yang dikenal selama ini oleh masyarakat Mekongga lebih familiar dengan nama Sopura (daerah menempa besi).

Persebaran masyarakat pribumi yang mendiami Desa Sopura hingga saat ini sebagian besar 68,3% berasal dari anak keturunan Manambu yang berasal dari Rawua, Sampara kabupaten KonaWe dan Wemila yang berasal dari Epe, Wundulako kabupaten Kolaka (Olank Zakaria, tahun 2011). Dari hasil perkawinannya mereka dikaruniai sembilan anak, salah satu diantaranya diberi nama Sopura. Kesembilan anaknya tersebut adalah:


1) Sopura (Laki-laki);

2) Wendela (Perempuan);
3) Kawi (Perempuan);
4) Lola (Laki-laki);
5) Ndira (Perempuan);
6) BioOsi (Laki-laki);
7) Tumbu (Laki-laki);
8) Uti (Perempuan) dan
9) Ume (Perempuan)


b. Era Sebelum Indonesia Merdeka

Salah satu keluarga berasal dari Anggaberi dan Latoma (kerajaan KonaWe)  yang menetap di kampung Sopura adalah Koko dan Lahati. Pada umumnya mata pencaharian masyarakat kampung Sopura pada saat itu adalah bertani dan beternak, selain bertani dan beternak Koko dan Lahati juga mengolah hasil hutan yaitu mengumpulkan getah damar yang telah dirintis oleh orang tua mereka sejak tahun 1809 saat mereka tinggal di Tepurino pasca perang antar kerajaan Mekongga dan Moronene.
Getah pohon damar tersebut di kerajaan KonaWe telah dikenal memiliki nilai ekonomis dan mempunyai manfaat yang dapat dijadikan bahan penerangan atau lampu sebagai pengganti minyak bumi pada waktu itu, oleh karenanya pohon damar (latin: genus agathis) tersebut oleh suku Tolaki menyebutnya puu hulo artinya pohon lampu.
Hasil mengumpulkan getah damar tersebut sebagian digunakan untuk bahan penerangan dan sebagian lainnya ditukar dengan bahan makanan atau barang kebutuhan lainnya kepada pedagang China di Kolaka. Keberadaan pedagang China tersebut disinggung dalam catatan singkat bangsa Eropa dalam buku "Reise von derMingkoka-Bai nacbKendari, Südost-Celebes”, (II. Februar bis 19. März 1903)
dikatakan ........ Ähnliches beobachtete E. Carthaus an der Küste des westlichen Central-CelebesEin uns von früher her schon bekannter, chinesischer Kauf-mann bot uns in Kolaka ein geräumiges......

Pengolahan hasil hutan (getah damar, kayu dan rotan) yang dilakukan masyarakat suku Tolaki juga disinggung dalam catatan bangsa Eropa dalam buku yang sama diatas diantaranya dalam catatan: 357 ditulis “......Die Boncer wollen im Konawe'schcn den ganzen Handel in Waldprodukten, Dammar......

Kemudian dalam catatan: 358 ditulis ......harz, Rotang und Wachs, monopolisieren und fürchten daher europäische Konkurrenz und vor allem einen Einblick in die gewalttätige Manier ihres Auftretens gegenüber den schwachen Eingeborenen......”.

Mengingat hasil dari mengumpulkan getah damar cukup menjanjikan dan dapat berkelanjutan bagi anak keturunannya, maka pada akhir tahun 1929 Koko dan Lahati mengajukan permintaan 
kepada Bokeo atau Raja Mekongga Sea iKambo Baru  berkedudukan di Kampoeng Baroe untuk menguasai dan mengolah hasil hutan tersebut secara resmi.

Berdasarkan permintaan keluarga tersebut dan mengingat bahwa keluarga tersebut adalah keluarga bangsawan (Anakia) dari KonaWe dan kakeknya pernah membantu kerajaan Mekongga dalam perang antar kerajaan, maka pada tahun 1930 Bokeo Latambaga mengeluarkan “Soerat Keloeasan” Nomor: 2 tanggal 3 Juni 1930 kepada Bapak Koko.


Dokumen Pribadi
Photo "Soerat Keloeasan thn. 1930" atau Surat Penguasaan Luas Tanah
 
Sejak terbitnya Soerat Keloeasan tersebut, keluarga Koko secara resmi berhak mengolah atau menguasai wilayah hutan yang di dalamnya terdapat pohon damar dengan membayar sima (oSima) atau pajak setiap tahunnya kepada Bokeo berupa seekor kerbau. Wilayah hutan yang telah diberikan oleh Bokeo tersebut disebut Wuta Pinotiso.

Di dalam 
Soerat Keloeasan tercantum jumlah pohon damar sebanyak 50 pohon yang terletak di gunung Oko-Oko dan Anaiwoy tidak tertulis secara rinci batas-batas wilayah disebabkan pada saat itu hutan tersebut belum memiliki nama tempat.
Untuk memudahkan dalam menentukan batas-batas lokasi Soerat Keloeasan, Koko dan Lahati memberikan penyebutan nama-nama tempat sebagai batas-batas wilayah sesuai banyaknya jumlah pohon damar yang berhak mereka kuasai, nama-nama lokasi hutan tersebut antara lain: Watu Merui, Tambo Onaha, Wata Rema, Labua Wali, Ana Iwoi-woi, Liku Melai, Ewoewo, Puu dambu, Bekeno dan Polosopa.

Dokumen Pribadi
Photo Surat Kepemilikan Tanah (SKT)
 
Pada tahun 1936, akibat persoalan internal keluarga (masalah adat) Koko akhirnya meninggalkan kampung Sopura, sebelum berangkat beliau menyerahkan Soerat Keloeasan kepada adik perempuannya bernama Ponu istri Lahati.
Sepeninggal Koko, Lahati mengolah hasil hutan bersama isterinya dan beberapa kerabat keluarga dekat lainnya dan mereka tinggal menetap di Tinggo di pinggiran sungai Ngawuuha (wilayah Desa Oko-oko  dan Desa Lameday). Dari hasil perkawinan Lahati dan Ponu mereka dikaruniai 3 orang anak yaitu:

1. Naharia (Perempuan);
2. Zakaria (Laki-Laki) dan
3. Danudi (Laki-Laki).

Selain mengolah hasil hutan (kayu, getah damar dan lainnya) mereka juga melakukan usaha kultivasi motasu yakni tradisi berkebun padi ladang secara berpindah-pindah, mereka juga memelihara hingga ratusan ternak kerbau, lokasi atau tempat ternak kerbau dalam hukum adat disebut walaka tersebar di beberapa wilayah wuta 
pinotiso.
 
Photo Pribadi
Kegiatan penertiban lahan dari upaya beberapa oknum penyerobot tanah
 

c. Silsilah Garis Keturunan Bapak Zakaria (1922 - 2006)

Bapak Zakaria terlahir dari keluarga anakia (bangsawan), ayahnya bernama Lahati (1878 - 1958) berasal dari keturunan Tamalaki di Anggaberi dari kerajaan KonaWe sedang ibunya bernama Ponu berasal dari keturunan keluarga Sabandara di Latoma kerajaan KonaWe.

Kakeknya bernama Anakia Tunduapi (1769 - 1854) adalah seorang Tamalaki di lingkup kerajaan KonaWe. Dimasa peperangan antar kerajaan, Tunduapi bersama prajurit kerajaan KonaWe membantu kerajaan Mekongga menaklukkan kerajaan Moronene.
Perang antar kerajaan tersebut  disebut mongae yang artinya mengayau, kisah tersebut telah diceritakan oleh beberapa turunan pelaku sejarah, baik dikerajaan Mekongga maupun di kerajaan KonaWe.

Usai penaklukan kerajaan Moronene, Tunduapi tinggal beberapa tahun di Tepurino (Sopura) bersama beberapa prajurit kerajaan KonaWe sebelum akhirnya kembali ke KonaWe. Beberapa diantaranya tinggal berasimilasi dengan masyarakat setempat.

Kakek buyutnya adalah seorang Tamalaki (Panglima Perang Kerajaan KonaWe) bernama Mayasa (1705 - 1788), kedaulatan kakeknya tersemat pada sebuah wilayah tanda "mbayasa" tepatnya di Lerehoma kecamatan Anggaberi kabupaten KonaWe, luas wilayah waworaha dan walaka yang dimilikinya kurang lebih 120 Ha (berdasarkan hasil pengukuran resmi ahli waris bersama Camat Unaaha Bapak Drs. H. Anshari Sadaoda, M.Si selaku PPAT, tahun 1996). Lokasi tersebut berbatasan dengan waworaha Tamalaki Pakande Ate (Sangia Wutu Ahu) di sebelah Selatan, Waworaha Anakia Pagala di sebelah Barat dan Waworaha Anakia Buburanda di sebelah Utara.

d. Era Setelah Indonesia Merdeka

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, kedaulatan negara kembali dirongrong oleh penjajah atas datangnya tentara NICA (Nederlands Indische Civile Administratie) di Kolaka pada tahun 1945, Zakaria bersama beberapa pemuda dari Kampung Sopura yaitu: Horose, Kasibi, Sakuda (Sakuda adalah ayah Kades Oko-Oko, Gombi Sakuda) dan lainnya meninggalkan kampung Sopura bergabung dengan PKR (Pembela Keamanan Rakyat) di Silea (Kec. Wundulako) dengan tujuan berjuang bersama rakyat Kolaka melawan tentara NICA untuk mempertahankan kemerdekaan RI yang baru seumur jagung. Hal ini diakui oleh Bapak H.Susu (kakek mertua Bapak H. Safei, SH,MH), beliau adalah salah seorang Veteran dan pejuang Kolaka tergabung dalam milisi perang yang meletus pada 19 Nopember 1945 di Sabilambo, beliau juga menyarankan kepada Bapak Zakaria untuk mengurus kelengkapan administrasi menjadi anggota Veteran RI, akan tetapi akibat proses administrasi yang dianggap berbelit-belit akhirnya beliau memutuskan untuk tidak memenuhi kelengkapan berkas yang dibutuhkan.

Setelah kedaulatan RI telah pulih, aktivitas masyarakat Kolaka kembali normal sampai terjadi pemberontakan DI/TII di Sulawesi pada tahun 1953 pimpinan Kahar Muzakkar, kekacauan terjadi hampir di seluruh pulau Sulawesi termasuk Kolaka, akibat kekacauan yang timbul maka pada tahun 1955 pemerintah Kolaka bersama TNI dan MOBRI (sekarang BRIMOB) melakukan evakuasi terhadap masyarakat termasuk masyarakat kampung Sopura menuju tempat yang dianggap aman dari aksi kejahatan gerombolan DI/TII, mereka kemudian menuju kampung Bende (Distrik Wundulako).

Setahun berada di Bende tepatnya tahun 1956 terjadi insiden penembakan terhadap salah seorang warga dari kampung Sopura yang menyebabkan Bapak BioOsi meninggal dunia, penembakan tersebut dilakukan oleh personil MOBRI karena mencurigai warga tersebut sebagai anggota gerombolan DI/TII. Akibat peristiwa tersebut masyarakat Sopura tidak terima akan hal ini, demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akhirnya mereka meninggalkan Bende kembali ke kampung Sopura, peristiwa tersebut telah menyulut amarah keluarga korban hingga beberapa diantaranya bergabung dengan DI/TII dan membunuh 4 orang MOBRI.
Salah seorang perwira perang DI/TII berasal dari Sopura yang sangat disegani TNI dan MOBRI adalah Mayor (TNI) Mansyur Abadi yang berasal dari keturunan bangsawan KonaWE, sama halnya dengan Kahar Muzakkar beliau adalah prajurit BKR (sekarang TNI) pejuang kemerdekaaan yang ikut berperang melawan penjajah di pulau Jawa pada tahun 1945 dan kembali ke Sulawesi tenggara saat terjadinya pemberontakan akibat kekecewaan putra-putra Sulawesi terhadap kebijakan pemerintahan pusat.

Setelah peristiwa pembunuhan Bende, Lahati sekeluarga bersama beberapa kerabat anggota keluarga menuju dan  memilih tinggal dipinggir sungai Ngawuuha tepatnya didaerah Tinggo (Wawo Raha Lahati), mereka mulai berladang dan kembali mengolah kayu dan damar, hingga  akhirnya Lahati meninggal pada tahun 1958 dan dikebumikan di Tobi Meita (daerah Lameday).


Pada tahun 1959 setelah keberadaan warga yang berada di Tinggo diketahui oleh pemerintah, maka Bapak Lowa (ayah Bokeo Mburi raja Mekongga ke-12) selaku kepala pemerintahan Distrik Wundulako (sekarang Kec. Wundulako) bersama TNI dan MOBRI melalukan pendekatan secara kekeluargaan dan memberikan pemahaman tentang tanggung jawab pemerintah untuk melindungi masyarakatnya dari gangguan gerombolan DI/TII dan mengajak warga untuk meninggalkan Tinggo, akhirnya mereka bersedia meninggalkan daerah Tinggo menuju Pomalaa.

Saat tinggal di Pomalaa beberapa warga yang berasal dari Sopura termasuk Zakaria bergabung dengan laskar PD yaitu laskar rakyat anti gerombolan DI/TII dan mereka melakukan operasi ke beberapa daerah antara lain Watubangga dan Toari, dalam suatu operasi bersama anggota laskar lainnya di wilayah Watubangga, Zakaria mendapat hadiah keris pusaka dari salah seorang suku Moronene.
Setelah sekian lama tinggal di Pomalaa dan keadaan sudah kondusif, sebagian besar warga Sopura memilih menetap di Pomalaa atau sekarang Dawi-Dawi dan sebagian kembali ke Sopura.

Berbekal hak penguasaan kawasan hutan yang dimiliki oleh orang tuanya, Zakaria (anak kedua Bapak Lahati) memilih tinggal di Pomalaa dan menjadi pengusaha di bidang pengolahan dan pengadaan kayu sejak tahun 1967 – 1976 dengan nama usaha “Usaha Karya” yang kemudian bermitra dengan PT. Aneka Tambang UBPN Pomalaa.


Seiring berjalannya waktu hingga kemudian Zakaria meninggalkan usaha pengolahan kayu yang digelutinya ± 9 tahun, pada tahun 1987 Zakaria bersama keluarganya kembali membuka perkebunan di lokasi hak penguasaan leluhurnya dan menetap di Tinggo (Wawo Raha Lahati).


Pada tahun 1990 PT. Bina Mahawana Wisesa (PT. BMW) perusahaan yang bergerak dibidang industri kayu lapis atau tripleks (veneer) membuka izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk mengelola kayu bulat (log) di Kab. Kolaka dan mendirikan Kantor di Latumbi (sekarang wilayah desa Hakatutobu). 
Selain melakukan penebangan berbagai jenis kayu rimba campuran perusahaan tersebut juga melakukan penebangan kayu damar tanpa diketahui ahli waris.

Selang beberapa tahun sejak Zakaria tinggal di Tinggo, pada tahun 1992 Bapak Drs. Sunggu Zakaria, Bc.Ku (anak kandung Zakaria juga adalah menantu Mansyur Abadi) saat menjabat Kepala Dinas Pendapatan Daerah Prov. Sulawesi Tenggara Cab. Kolaka, memobilisasi dan mendanai warga Desa Sopura berjumlah ± 20 orang untuk melakukan pembukaan lahan perkebunan dan penanaman beberapa jenis tanaman antara lain kakao, kopi, mangga, sagu dan lain-lain.


Selanjutnya pada 2003 Suplan Zakaria (anak kandung Zakaria) dan Bapak Arifin Ropi (menantu Zakaria) membuka kembali lahan perkebunan dan menanam kakao, kopi, merica dan lain-lain.


Keberadaan beberapa bukti atas riwayat yang tertuang dalam sejarah singkat asal usul tanah leluhur (hak penguasaan atas tanah) peninggalan orang tua kami tersebut hingga saat ini masih ada dan dapat dijadikan sebagai bukti rujukan, baik berupa dokumen, tanaman maupun saksi hidup.
 
Pembahasan masaalah Hak Penguasaan Atas Tanah bersama DPRD Kolaka
 

III. ASPEK HUKUM

Dalam Hukum Adat, tanah merupakan masaalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan secara singkat di atas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.

Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi mereka makan, tanah di mana mereka dimakamkan dan tempat kediaman arwah leluhurnya. Tanah merupakan milik dari masyarakat yang diperoleh sesuai aturan  hukum yang telah dikuasai sejak dahulu. Tanah telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa, serta pendukung suatu negara. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio shie qua non.


Sebagaimana telah diketahui, sebelum berlakunya UUPA di Indonesia terdapat dualisme dalam hukum pertanahan, yaitu yang bersumber pada Hukum Adat dan yang bersumber pada Hukum Barat. UUPA mengakhiri dualisme tersebut dan menciptakan unifikasi Hukum Tanah Nasional kita.

Sumber-sumber Hukum Tanah Nasional kita berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, sebagai berikut :

1. Sumber-Sumber Hukum Yang Tertulis:

  • Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3); 
  • Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960); 
  • Peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA;
  • Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA; yang dikeluarkan sesudah tanggal 24 September 1960 yang karena sesuatu masalah perlu diatur;
  • Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku berdasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan.
2. Sumber-Sumber Hukum Yang Tidak Tertulis:
  • Norma-norma Hukum Adat yang sudah di-saneer (yang telah dihilangkan cacat-cacatnya/disempurnakan);
  • Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan praktik Administrasi.
Dalam hal tersebut, termasuk pula didalamnya kebiasaan dan tingkah laku orang Indonesia terhadap tanah, yaitu sebagai berikut :
  • Hak membuka tanah;
  • Transaksi-transaksi tanah;
  • Transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah.
Hukum Tanah Adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini, ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis, yaitu hanya didasarkan atas pengakuan serta ada pula yang mempunyai bukti autentik.

Hukum Tanah adat terdiri dari dua jenis:

Pertama, hukum tanah adat masa lampau. Hukum Tanah Adat masa lampau ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti kepemilikan secara autentik maupun tertulis. Jadi, hanya berdasarkan pengakuan ciri-ciri Tanah Hukum Adat masa lampau adalah tanah-tanah dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan, daerah, suku, dan budaya hukumnya.

Kedua, hukum tanah adat masa kini, yaitu hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang, dengan bukti autentik beberapa diantaranya yang relevan adalah:

1. Hak Agrarisch Eigendom

Hak Agrarisch Eigendom adalah suatu hak ciptaan pemerintah Belanda yang bertujuan akan memberikan kepada orang-orang Indonesia suatu hak atas tanah yang kuat.

2. Grant Sultan 

Grant Sultan adalah semacam hak milik adat, diberikan oleh Pemerintah Swapraja, khusus bagi kawula Swapraja, dan didaftar di Kantor Pejabat Swapraja.

3. Altidjddurende Erfpacht

Altidjddurende Erfpacht adalah pemilikan tanah persil yang berada di bawah sewa turun-temurun untuk selama-lamanya. (S.1915 No. 207, Pasal 1 ayat (1), Dalam Terjemahan Beberapa Staatsblad dan Bijblad tentang Pengaturan Tanah Partikelir, Jakarta, 5 Juli 1988, hlm. 4). Golongan Timur Asing di sekitar Jakarta banyak yang mempunyai tanah di atas apa yang disebut "tanah partikelir" dengan "hak usaha", seperti orang-orang pribumi.

4. Fatwa Ahli Waris

Fatwa ahli waris adalah jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh Bukti terhadap suatu masalah (dalam hal ini masalah pewarisan).

5. Surat Segel di Bawah Tangan

Yaitu perbuatan hukum mengenai peralihan sebidang tanah atas kesepakatan para pihak dan pemberian sepihak yang tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang. Perbuatan hukum semacam ini pada umumnya dilakukan masyarakat dan badan hukum scbelum berlalunya PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.

6. Hak-Hak Lainnya Sesuai dengan Daerah Berlakunya Hukum Adat

Selain hak-hak di atas, masih terdapat hak-hak tanah adat sesuai dengan perkara yang telah putuskan oleh pengadilan.
Dalam pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas lembaga hukum dan sistem Hukum Adat. Hukum Adat yang dimaksud tentunya Hukum Adat yang telah dilakukan perbaikan. Jadi pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sumber-sumber Hukum Tanah Nasional kita berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, sumber-sumber hukum yang tertulis berupa Undang-Undang Dasar 1945, UUPA, peraturan- peraturan pelaksana UUPA, dengan peraturan- peraturan lama yang masih berlaku. Adapun sumber-sumber hukum yang tidak tertulis adalah norma-norma Hukum Adat yang telah di-saneer dan Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi.


Dengan demikian ada dua fungsi atau peranan dari Hukum Adat. Yaitu sebagai sumber utama pembangunan Hukum Tanah Nasional dan sebagai pelengkap dari ketentuan-ketantuan Hukum Tanah yang belum ada peraturannya agar tidak terjadi kekosongan Hukum karena hukumnya belum diatur sehingga kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan Hukum Tanah tidak terhambat karenanya.


IV. OPINI

  • Kita tidak dapat menutup mata atas upaya yang telah dilakukan seseorang pada zamannya dengan segala kerja keras dan keterbatasan untuk mendapatkan sebuah pengakuan yang belum tentu kita bisa lakukan saat ini (Olank Zakaria).
  • Orang yang tidak mengakui sejarah atas milik seseorang, adalah manusia yang merasa dirinya berhak atas apa yang dimiliki orang lain padahal sesungguhnya mereka ingin mencuri hak orang lain (Olank Zakaria).

V. PENUTUP

Rentetan alur sejarah dan pemaparan singkat berdasarkan bukti faktual dan aktivitas turun temurun yang dilakukan pemilik yang sah atas kawasan hutan (hak penguasaan atas tanah) merupakan sebuah fakta yuridis yang dapat dibuktikan dengan adanya relevansi berupa dokumen, saksi-saksi, nama wilayah dan tanaman yang merupakan satu kesatuan atas legitimasi kepemilikan yang harus dilindungi oleh pemerintah.


Sopura, 28 Mei 2011

Oleh: Olank Zakaria